BEROBAT DENGAN
BENDA HARAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah
“Masail Fiqhiyah”

Disusun oleh :
Kelompok 8
1.
Ali Ma’sum (210315285)
2.
Nining Masruroh (210315262)
3.
Yenni Maghfirah Nur Rohmah (210315269)
Kelas PAI.H
Dosen Pengampu :
Ibnu Muchlis,
M.Hum.
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
MEI 2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Didalam Al-Qur’an kesehatan merupakan hal yang sangat prinsipil,
karena terkait dengan kebutuhan lainnya. Makna kesehatan dalam dimensi yang
lebih dalam dan luas, yakni kesehatan dalam arti lahir dan batin atau jasmani
dan rohani. Seseorang yang beriman, harus mampu menjaga kesehatan jasmani dan
rohaninya. Islam memandang kesehatan lebih dari sekedar terhindarnya seseorang
dari penyakit. Bukan sekedar tubuh sehat, tetapi yang tak kalah pentingnya
adalah kebersihan batin atau kebersihan rohani.[1]
Dalam pengobatan umumnya, sumber obat bisa dikategorikan menjadi
beberapa kelompok yaitu sumber yang berasal dari manusia, hewan, tumbuhan,
tanah dan air. Sumber-sumber ini sering digunakan untuk memproduksi bahan-bahan
yang dapat dimanfaat sebagai obat. Namun bagaimana dengan penggunaan benda
haram dalam berobat.
Untuk itu terkait pengobatan dengan benda haram perlu dikaji secara
mendalam terutama menurut Islam, yang akan dibahas dalam makalah ini. Hal ini
penting dipelajari bagi mahasiswa agar kelak bisa memahami dan mengetahui
terkait berobat dengan benda haram terutama dalam kondisi darurat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian
berobat dan landasan pengobatan dalam Islam?
2.
Apa saja jenis-jenis
benda yang diharamkan dalam Islam?
3.
Bagaimana pemetaan
kondisi darurat melalui kaidah fiqhiyah?
4.
Bagaiaman landasan
hukum berobat dengan benda haram?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Berobat
dan Landasan Pengobatan dalam Islam
1.
Pengertian
Berobat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
obat adalah bahan yg digunakan untuk mengurangi, menghilangkan, atau
menyembuhkan sakit. Sedangkan berobat adalah menggunakan obat, mengobati
penyakit atau minta obat, sudah diobati atau sudah mendapat obat.[2]
Menurut Anief bahwa obat adalah
suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksud untuk digunakan dalam menentukan diagnosis,
mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit, luka atau kelainan
badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk bagian tubuh manusia.[3]
Jadi, berobat adalah upaya manusia
untuk memulihkan kesehatannya dari gangguan penyakit tertentu.[4]
2.
Landasan Pengobatan
dalam Islam
Landasan pengobatan dalam Islam
yaitu, sebagai berikut:
a.
Menurut
Al-Qur’an
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْءَانِ مَاهُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ
لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَيَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلاَّخَسَارًا
Artinya:
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 87)
يَآَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَآءَتْكُمْ
مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَآءٌ لِّمَافِيْ الصُّدُوْرِ وَهُدًى
وَّرحْمَةٌ لِّلمؤْمِنِيْنَض
b.
Menurut Hadist
Nabi Muhammad SAW
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ اذَااتَى مَرِيْضًا
اَوْاُتِىُ بِهِ اِلَيْهِ قَالَ : اَذْ هِبِ الْبَأْسَ رَبّ النَّاسِ اَشْفِ
وَاَنْتَ الشَّافِيْ لاشِفَاءَ اِلاَّ شِفَاءُكَشِفَاءًلايُغَادِرُسَقَمًا
Artinya: “Dari Aisyah bahwa Rasulullah saw, jika mendatangi
orang sakit atau beliau ketika dikunjungi orang (ketika sakit) maka Nabi
berdo’a : Lenyapkanlah kesengsaraan, ya Tuhan pemilik manusia, sembuhkanlah,
dan Engkau pemberi kesembuhan kecuali dengan penyembuhan Mu, satu penyembuhan
yang tidak meninggalkan penyakit”.
عَنْ
اَبِىْ هُرَيْرَةَعَنِ النّبِىِّ ص : مَااَنْزَلَ اللهُ دَاءً اِلاَّاَنْزَلَ لَهُ
شِفَاءً
Artinya: “Dari
Abu Hurairah dari Nabi saw, bersabda: Allah tidak menurunkan penyakit kecuali
Dia pula menurunkan obatnya.”
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ : اَلشِّفَاءُفِى
ثَلاَثَةٍ : شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكِيَّةِ نَارٍوَاَنْهَى
اُمَّتِى عَنِ الْكَيِّ
Artinya:
“Dari Ibn Abbas, dari Nabi saw, bersabda : Pengobatan itu ada tiga macam :
(1) Minum Madu, (2) Berbekam (hijamah yaitu mengeluarkan darah dengan dilukai),
(3) Kai (pengobatan dengan besi panas). Dan aku larang ummatku berobat dengan
kai.”[5]
B.
Jenis-Jenis
Benda yang Diharamkan dalam Islam
1.
Alkohol
Alkohol adalah sebutan organik dimana kumpulan hidroxyl (-OH)
terikat dengan atom karbon daripada kumpulan akil. Alkohol lazimnya digunakan
dalam dunia medis sebagai obat kumur, pencuci kuman pada luka dan alat-alat
pembedahan.
2.
Urine atau air
kencing
Urine adalah air seni atau air kencing yang keluar dari tubuh
manusia atau hewan merupakan cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang
kemudia dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinasi. Para ahli
mengatakan bahwa urine diperlukan untuk membuang molekul-molekul sisa dalam
darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostatis cairan tubuh.
Baik itu urine manusia atau urine hewan.
3.
Darah
Ad-Damm, yang berarti darah adalah suatu cairan berwarna merah yang
mengalir pada jasad hewan dan manusia. Darah dikategorikan menjadi dua yaitu
darah manusia dan darah hewan.
4.
Bangkai
Bangkai dalam bahasa arab disebur Al-Mayyitah yang berarti sesuatu
yang mati tanpa disembelih. Sedangkan dalam pengertian ulama syari’at:
a.
Mati tanpa
disembelih seperti kambing yang mati sendiri.
b.
Disembelih
dengan sembelihan yang tidak syar’i seperti kambing yang disembelih oleh orang
musyrik.
c.
Tidak menjadi
halal walaupun dengan disembelih seperti babi disembelih seorang muslim sesuai
syarat penyembelihan syar’i.
Para ulama juga menambahkan pengertian
bangkai yaitu potongan tubuh hewan yang terlepas dari badannya, seperti kaki,
paha, telinga dan lainnya, sementara hewan itu masih hidup.[6]
C.
Pemetaan
Kondisi Darurat Melalui Kaidah Fiqhiyah
Kondisi darurat menurut kaidah Fiqhiyah, yaitu sebagai berikut:
1.
Kaidah pertama
اَاضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“kemadlaratan-kemadlaratan
itu dapat memperbolehkan keharaman”
2.
Kaidah kedua
ماَأُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُبِقَدَرِهَا
“Apa yang diperbolehkan bagi darurat maka diukur menurut kadar kemudlaratannya.”
Dasar nash
kaidah diatas adalah firman Allah SWT:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْاِلاَّ مَااضْطُرِرْتُمْ
اِلَيْهِ
Artinya: “Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.”
(QS. Al-An’am:119)
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلآ اِثْمَ عَلَيْهِ
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa
baginya.” (QS. Al-Baqarah:173)
Berdasarkan ayat diatas diketahui bahwa tidak semua keterpaksaan
itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan
yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam hal ini
maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.[7]
Kondisi darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam
agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili
darurat merupakan kepentinan manusia yang diperbolehkan menggunakan
sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan
kehidupan manusia, bila tidak dilaksaknakan maka mendatangkan kerusakan.
Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang.[8]
Para ulama telah memberikan kriteria seseorang yang dapat
dikelompokkan ke dalam keadaan darurat, yaitu sebagai berikut:
1.
Keadaan darurat
itu benar-benar telah terjadi. Artinya, bahwa seseorang benarbenar dapat diduga
akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang ada.
2.
Orang yang
dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan untuk
melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama. Artinya,
bahwa disekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan jiwanya,
kecuali yang haram tersebut.
3.
Orang tersebut
benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang halal dalam
menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk mencari yang
halal, maka keadaannya tersebut delum dapat dikatakan darurat.
4.
Yang dilakukan
oleh orang yang berada dalam keadaan darurat tersebut tidak sampai melanggar
prinsip-prinsip dasar Islam, seperti pemeliharaan terhadap hakhak orng lain,
tidak memudharatkan orng lain, dan tidak menyang kut masalah akidah. Misalnya,
walaupun karena darurat zina dan murtad tetap tidak dihalalkan karena perbuatan
tersebut merupakan suatu perbuatan yang benar-benar dilarang dan merupakan
prinsip dasar Islam.
5.
Kebolehan
darurat ini hanya terbatas sekedar melepaskan diri dari keadaan tersebut.
Misalnya, jika seseorang sangat kelaparan dan satu-satunya yang akan dimakan
itu hanya daging babi, maka yang hanya dibolehkan untuknya adalah memakan
daging babi itu sekedar untuk mempertahankan hidup untuk mencari yang halal.
6.
Jika keadaan
darurat itu menyangkut penyakit, maka harus dijelaskan oleh dokter yang dapat
dipercaya, baik agamanya maupun ilmunya di bidang itu, bahwa satusatunya obat
adalah yang diharamkan itu.[9]
Menurut ulama terkait
batasan-batasan darurat, yaitu sebagai berikut:
1.
Menurut madzhab
Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang
tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal
dunia atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan cacat. Misalnya gugurnya
keharaman arak dan bangkai bagi seseorang yang terpaksa harus meminum atau
memakannya, adalah karena ia merasa khawatir atas keselamatan nyawanya, kerana
menahan haus dan dahaga.
2.
Menurut madzhab
Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah
rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar
dugaan. Ada juga yang berpendapat, darurat ialah menjaga jiwa dari kematian
atau dari bahaya yang sangat berat.
3.
Menurut madzhab
Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya
diatasi dengan hanya memakan bangkai dan sebagainya. Seperti halnya ulama-ulama
dari madzhab lain, mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai
kematian itu sebentar lagi datang. Hal itu karena pada dasarnya, sesuatu yang
diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan tidak boleh diterjang kecuali karena
ada alasan darurat.[10]
D.
Landasan Hukum
Berobat dengan Benda Haram
Untuk
memberikan kepastian bagi masyarakat muslim di Indonesia, Majelis Ulama
Indonesia secara khusus pada 20 Juli 2013 menetapkan fatwa tentang Obat dan
Pengobatan. Fatwa itu adalah sebagai berikut:
1.
Islam
mensyariatkan pengobatan karena ia bagian dari perlindungan dan perawatan
kesehatan yang merupakan bagian dari menjaga Al-Dharuriyat Al-Khams.
2.
Dalam ikhtiar
mencari kesembuhan wajib menggunakan metode pengobatan yang tidak melanggar
syariat.
3.
Obat yang
digunakan untuk kepentingan pengobatan wajib menggunakan bahan yang suci dan
halal.
4.
Penggunaan
bahan najis atau haram dalam obat-obatan hukumnya haram.
5.
Penggunaan obat
yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan hukumnya haram kecuali memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.
Digunakan pada
kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan yang
apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia, atau kondisi keterdesakan
yang setara dengan kondisi darurat (al-hajat allatitanzilu manzilah
al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan maka
akan dapat mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari
b.
Belum ditemukan
bahan yang halal dan suci
c.
Adanya
rekomendasi paramedis kompeten dan terpercaya bahwa tidak ada obat yang halal.
6.
Penggunaan obat
yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan luar hukumnya boleh dengan
syarat dilakukan pensucian.[11]
Terkait hukum berobat dengan benda
haram sendiri, ada pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim
AlJauyziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama Hanafiyah. Ada yang
membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan ada pula
yang memakruhkannya. Di sini dicukupkan dengan menjelaskan pendapat yang rajih
(kuat), yakni yang menyatakan bahwa berobat memanfaatkan benda najis dan haram
hukumnya makruh, bukan haram.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam
kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah telah menjelaskan kemakruhannya,
dengan jalan mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak
bertentangan/kontradiktif dalam masalah ini, yaitu:
1.
Ada
hadits-hadits yang melarang berobat dengan yang haram dan najis, misalnya
hadits Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan
obat bagimu pada apa-apa yang diharamkan." (HR Bukhari dan Baihaqi,
dan dishahihkan Ibnu Hibban).
Rasulullah SAW bersabda pula,"Sesungguhnya Allah SWT
menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya.
Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang
haram."(HR Abu Dawud).
2.
Di sisi lain,
ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram.
a)
Hadits bahwa
Nabi SAW membolehkan berobat dengan meminum air kencing unta. “Diriwayatkan
oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari suku Ukl dan Uraynah
yang mendatangi Nabi SAW dan berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka
terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk
mencari gerombolan unta dan meminum air susu dan air kencingnya.”(HR
Muslim).
Hadits ini
membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu naji
b)
Dalam hadits
lain dari Anas RA, “bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada
Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain sutera karena menderita
penyakit gatal-gatal.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits
membolehkan berobat dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram
dipakai oleh laki-laki.
Dengan
demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram
untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh. Dengan kata
lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya
makruh. Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan) belum tentu najis,
seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram (dimanfaatkan).[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pernyataan diatas dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Berobat adalah
upaya manusia untuk memulihkan kesehatannya dari gangguan penyakit tertentu.
2.
Jenis-jenis
benda yang diharamkan dalam Islam yaitu alkohol, urine atau air kencing, darah,
bangkai.
3.
Pemetaan
kondisi darurat Melalui Kaidah Fiqhiyah. Tidak semua keterpaksaan itu
membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan
yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam hal ini
maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya
4.
Penggunaan obat
yang berbahan najis atau haram untuk pengobatan pada dasarnya haram. Akan
tetapi, larangan tersebut dikecualikan dalam dua kondisi, pertama pada
kondisi keterpaksaan (al-dlarurat), yaitu kondisi keterpaksaan yang
apabila tidak dilakukan dapat mengancam jiwa manusia. Kedua, kondisi
keterdesakan yang setara dengan kondisi darurat (al-hajat allatitanzilu
manzilah al-dlarurat), yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak
dilakukan maka akan dapat mengancam eksistensi jiwa manusia di kemudian hari.
B.
Saran
Pemakalah menyadari bahwa dalam makalah ini masih belumlah
sempurna. Untuk itu pemakalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari Bapak Dosen dan pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jawi,
M. Shiddiq. “Alkohol Dalam Makanan, Obat, Dan Kosmetik : Tinjauan Fiqih Islam,”
The house of Khilafah (Maret 2006)
Anief,
M. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada, 1991.
Bahresisy,
Hussein. Himpunan Hadis Pilihan Hadits Shahih Bukhari. Surabaya:
Al-Ikhlas, 1992.
Mahjuddin,
Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Hukum Islam. Jakarta: Kalam Mulia,
2012.
Muflih,
Andi. Tesis Magister: “Pengobatan dalam Islam,” Makassar: UIN Alauddin,
2013.
Safari,
Nurul Syafiqah Mohd. Skripsi Sarjana: “Hukum Menggunakan Benda Najis Dalam
Pengobatan Menurut Ibn Taimiyyah dan Yusuf Al-Qardhawi,” Palembang: UIN
Raden Fatah, 2017.
Sholeh,
Asrorun Ni'am. “Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan
Penyerapannya Dalam UU Jaminan Produk Halal,” Jurnal Syariah 3 (November
2015)
Sonifuniam,
Ahmad. Skripsi Sarjana: “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi kepentingan
Obat dan Kosmetika,” Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Usman,
Muchlis. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah.
Jakarta: Raja Grafindo, 1999.
[1] Andi Muflih,
Tesis Magister: “Pengobatan dalam Islam,” (Makassar: UIN Alauddin,
2013), 11.
[2] Tim Penyusun, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1013.
[3] M. Anief, Apa
yang Perlu Diketahui Tentang Obat (Yogyakarta: Gajah Mada, 1991), 3.
[4] Mahjuddin, Masail
Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual Hukum Islam (Jakarta: Kalam Mulia,2012), 105.
[5]Hussein
Bahresisy, Himpunan Hadis Pilihan Hadits Shahih Bukhari (Surabaya:
Al-Ikhlas, 1992), 334-335.
[6] Nurul Syafiqah
Mohd Safari, Skripsi Sarjana: “Hukum Menggunakan Benda Najis Dalam Pengobatan
Menurut Ibn Taimiyyah dan Yusuf Al-Qardhawi,” (Palembang: UIN Raden Fatah,
2017), 18-19.
[7] Usman, Kaidah-kaidah
Istinbath Hukum Islam: Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, 133-134.
[9] Ahmad
Sonifuniam, Skripsi Sarjana: “Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi
kepentingan Obat dan Kosmetika,” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2008),
29-30.
[11] Asrorun Ni'am
Sholeh, “Jaminan Halal Pada Produk Obat: Kajian Fatwa MUI dan Penyerapannya
Dalam UU Jaminan Produk Halal,” Jurnal Syariah 3 (November 2015), 80-81.
[12] M. Shiddiq
Al-Jawi, “Alkohol Dalam Makanan, Obat, Dan Kosmetik : Tinjauan Fiqih Islam,” The
house of Khilafah (Maret 2006), 3-4.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar