MakalahIniDisusununtukMemenuhi
Salah SatuTugas Mata Kuliah
“Perbandingan
Pendidikan”

DisusunOleh: Kelompok 1
AnggittaWindiPriBadiyanti 210315295
NibarDestianArkianto 210315270
Rani
Kurnia Sutra 210315272
DosenPengampu :
ZainurRofik
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN PONOROGO
)
|
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pendidikan
adalah memanusiakan manusia. Jadi pendidikan tersebut dilakukan oleh manusia
dengan upaya sungguh-sungguh serta setrategi dan siasat yang tepat demi
keberhasilan pendidikan tersebut. Pelaksanaan pendidikan berlangsung dalam
keluarga sebagai pendidikan informal, di sekolah sebagai pendidikan formal dan
di masyarakat sebagai pendidikan nonformal serta berlangsung seumur hidup.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya.
Pendidikan merupakan agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui
proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakuki oleh
masyarakat. Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat
(3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.
Untyk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang
merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Oleh karena itu makalah ini membahas tentag sistem
pendidikan yang ada di Indonesia agar sebagai calon guru dapat mengetahui.
- Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
sejarah pendidikan orde lama, orde baru dan orde reformasi di Indonesia ?
2.
Bagaimana
sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ?
3. Bagaimana perkembangan kurikulum di
Indonesia ?
4.
Bagaimana
isu sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) di Indonesia ?
BAB II
SISTEM DAN KEBIJAKAN
PENDIDIKAN DI INDONESIA
- Sejarah
Pendidikan Orde Lama, Orde Baru Dan Orde Reformasi Di Indonesia
1. Sejarah Pendidikan Orde Lama
Pendidikan pada
zaman Orde Lama ini dipengaruhi oleh kondisi politik saat itu. Ketika itu, Indonesia
setelah lepas dari penjajahan dan setelah berhasil mempertahankan kemerdekaan
dari ancaman penjajahan kembali Belanda dengan Perjanjian KMB, bangsa kita
tengah belajar membangun sebuah bangsa, belajar berdemokrasi. Maka, sebagaimana
anak kecil yang swdang belajar naik sepeda, sering terjadi euforia, kesalahan,
dan itu terbukti bagaimana tidak stabilnya pemerintahan saat dengan sistem
parlementernya, dengan banyaknya partai yang saling sikut untuk berkuasa. Maka,
parlemen sulit bekerja sama secara baik, positif, maju, dan progresif untuk
membentuk sebuah rancangan dan penerapan pendidikan nasional yang baik dan
kuat. Sampai kemudian, Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden 1959 untuk
membubarkan parlemen dan kembali ke UUD 45 sebagai ganti UUDS 50 untuk
menstabilkan kondisi politik nasional saat itu.[1]
Salah satu bentuk pembaruan pendidikan
nasional saat itu berkaitan dengan institusionalisasinya. Pelembagaannya adalah
pembaruan penggantian kementrian yang mengurusi pendidikan, yang dulunya Kementrian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Kemudian, ditindaklanjuti lagi dengan
pembentukan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, ditambah dengan
Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan serta dikaitkan pula dengan
Departemen Olahraga. Ini jelas menunjukkan bagaimana situasi politik pendidikan
saat itu kurang stabil dan itu berakibat pada implementasinya yang kurang
efektif. Hal itu tercermin pula pada sosok yang memegang jabatan Kepala
Kementrian Pendidikan saat itu yang sering berganti-ganti.
Usaha untuk memajukan pendidikan nasional
yang dilakukan pada zaman Orde Lama salah satunya adalah dengan mendirikan
kantor Departemen Pendidikan di tingkat daerah. Hal ini dilakukan untuk
mengefektifkan pendidikan nasional agar tidak elitis, terutama berkaitan dengan
pemerataan akses pendidikan pada rakyat di seluruh penjuru wilayah Indonesia.
Anggaran dan pembiayaan diambil dari daerah, baik itu provinsi maupun
kabupaten.
Kemudian, pendidikan yang dilakukan di
zaman Orde Lama untuk memajukannya adalah menguatkan dan memperbanyak jenis
pendidikan untuk guru. Selain itu, juga dilaksanakan program wajib belajar.
Walaupun semua itu menghadapi halangan dan persoalan berkaitan dengan kondisi
sosial politik saat itu yang tengah memasuki pertarungan ideologis antara
kalangan sosialis, komunis, agama dan kalangan tentara, hal itu menjadikan
persoalan ekonomi terbengkalai, apalagi dunia sedang mengalami Perang Dingin
antara blok Uni Soviet dan Amerika Serikat. Itu terlihat dari bagaimana salah
satu tujuan pendidikannya membentuk masyarakat sosialis dan sering diimbuhi
dengan Manipol USDEK dan doktrin-doktrin dari Presiden Soekarno, jelas
menunjukkan bagaimana pendidikan saat itu dipengaruhi riak politik saat itu.
Namun, hasil pendidikan di zaman tersebut cukup signifikan jika dibandingkan
dengan pendidikan di zaman kemerdekaan, baik dari gedung sekolah, jumlah guru,
murid, sarjana, maupun jumlah pendidikan tinggi.[2]
2. Sejarah Pendidikan Orde Baru
Pendidikan di
zaman Orde Baru pada permulaannya berusaha membedakan dirinya dengan pendidikan
di zaman Orde Lama, yang terlihat bagaimana tujuan pendidikannya menghilangkan
beberapa kata sosialis, “Manipol USDEK”, dan menambahkan kata Pancasila
dengan sejati. Lebih jauh, Orde Baru memangkas peranan partai politik dengan
menggantinya dan menonjolkan bidang ekonomi. Hal itu diwujudkan dengan kata
“pembangunan” sebagai mitos dan ideologinya, termasuk ikut memberikan pengaruh
bidang pendidikan, dengan memberikan pembangunan gedung-gedung, sarana, dan
prasarana pendidikan. Pembangunan saat itu mendaptkan keberuntungan karena
harga minyak saat itu tengah naik. Harga minyak yang tinggi tersebut menjadikan
proyek pembangunan pendidikan dilaksanakan dengan cepat, salah satunya adalah
pembangunan SD Inpers.
Kemudian, salah satu ciri pendidikan di
zaman Orde Baru adalah bagaimana bentuk dan implementasi atau kebijakan
pendiidikannya selalu dikaitkan dengan persoalan pembangunan dan ekonomi. Tidak
heran jika jumlah dan jenis pendidikan kejuruan, keahlian, dan keterampilan
ditanamkan atau dimasukkan dari sejak SD samapai perguruan tinggi. Intinya,
lulusan pendidikan di zaman Orde Baru dituntut untuk bisa kerja.[3]
Apa yang kemudian menjadi ciri pendidikan
nasioanl pada masa Orde Baru adalah bagaimana stabilitas politik memberi
pengaruh pada dunia pendidikan. Hal itu dapat kita lihat dari isntitusi,
lembaga, departemen, dan kementerian yang mengurusi pendidikan relatif stabil,
bahkan bisa dikatakan sangat stabil, yaitu hanya satu nama institusi tersebut,
yang menggantikan nama institusi Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan, yaitu menjadi menjadi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen ini tidak pernah diganti selama masa pemerintahannya (1966-1998), 32
tahun. Coba kita bandingkan dengan masa pemerintahan Orde Lama pimpinan
Soekarano (1945-1966), 21 tahun. Pada masa Orde Lama, terjadi perubahan empat
kali. Pertama, Kementerian Pengajaran; kedua Kementerian Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudyaaan; ketiga menjadi
Deparetemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan; sementara yang
keempat bukan saja berganti namanya, melainkan juga terdapat tiga badan lembaga
sendiri yang mengurusi pendidikan, yaitu Departemen Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan, Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, dan Departemen
Olahraga. Namun, stabilitas tersebut tidak menghasilkan sebuah pendidikan
nasional yang berkemanusiaan karena angka pengangguran, angka putus sekolah,
dan angka buta huruf masih tinggi. Semua itu disebabkan salah satunya adalah
anggaran pendidikan nasional masih minim, yaitu di bawah 20%. Ditambah lagi,
kebijakan nasional tidak dilakukan dengan manajemen yang profesional,
akuntabel, efektif, dan berkesinambungan.
Kemudian, nama-nama yang menjabat sebagai
Menteri Pendidikan Nasional di zaman Orde Baru kalah banyak dengan daftar
Menteri Pendidikan di zaman Orde Lama. Di zaman Orde Lama, jumlah Menteri
Pendidikan sebanyak 14 orang, sedangkan jumlah Menteri Pendidikan di zaman Orde
Baru sebanyak 10 orang. Ini juga menunjukkan bagaimana stabilitas politik
pendidikan saat itu.[4]
3. Sejarah Pendidikan Orde Reformasi
Pendidikan di
zaman reformasi pada permulaannya, sikapnya seperti halnya Orde Baru terhadap
Orde Lama, yaitu berusaha mencoba membedakan dirinya dengan orde sebelumnya,
yaitu Orde Baru. salah satu bentuk pendidikan di zaman reformasi yang
membedakan adalah diterapkannya otonomi daerah dan otonomi lembaga pendidikan,
terutama perguruan tinggi.
Sesuai dengan watak reformasi yang selalu
menginginkan perubahan dan sering bersifat reaksioner terhadap kritik dan
terburu-buru membuat kebijakan. Misalnya, kurikulum pada zaman reformasi
setidaknya mengalami perubahan dua kali, yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Lalu, perubahan pada
Departemen Pendidikan, yang di zaman Orde Baru bernama Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan di zaman reformasi dirubah menjadi Departemen Pendidikan
Nasional.
Namun demikian, pendidikan di zaman
reformasi tampaknya sulit mewujudkan anggaran pendidikan yang sesuai dengan
amanah UUD 45, yaitu 20%. Baru pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
yang kedua, 2009-2014, hal itu diwujudkan. Ini jelas menunjukkan bahwasanya
pendidikan di zaman reformasi bidang reformasi pendidikan dilakukan dengan
setengah hati. Dari sinilah kemudian muncul sekolah-sekolah tau
pendidikan-pendidikan alternatif yang dilakukan oleh komunitas atau tokoh yang
kritis dan independen, antara lain Sekolah Rimba yang didirikan Butet Manurung,
maupun Qaryah Thayyibah yang didirikan Ahmad Bahrudin. Tujuan pendirian
pendidikan tersebut adalah mengkritik sekaligus mengisi pendidikan yang belum
dilakukan oleh pihak penguasa.[5]
- Sistem
dan Kebijakan Pendidikan Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
1. Sistem Pendidikan di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional
Terkait sistem pendidikan di
Indonesia terdapat dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Ssitem
Pendidikan Nasional Bab I tentang ketentuan umum menyebutkan Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
unyuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara. Sedangkan pendidikan nasional dalam
undang-undnag tersebut diartikan sebagai pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada
nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman. Sementara sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan
komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Yang dimaksud dengan tujuan
pendidikan nasional sisdiknas adalah: Berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.[6]
2. Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Kebijakan pendidikan
di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai
berikut:
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia
menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan
anggaran pendidikan secara berarti;
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan
profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan
sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal terutama dalam
peningkatan pendidiakn watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa
lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaruan sistem pendidikan
termasuk pembaharuan kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani
keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal
sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara
profesional;
4. Meberdayakan lembaga pendidikan baik
sekolah maupun luar sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan
kemampuan, serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarkat yang didukung
oleh sarana dan prasarana memadai;
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan
sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan
dan manajemen;
6. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan
yang diselenggarakan baik oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
7. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia
sendiri mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya
proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat
berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai
dengan potensinya;
8. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri
dalam dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.[7]
- Perkembangan
Kurikulum di Indonesia
Sejak zaman kemerdekaan, telah terjadi beberapa kali perubahan (penyempurnaan)
kurikulum, yang sampai saat ini sekurang-kurangnya sudah terjadi sebelas kali,
yakni delapan kali terjadi sebelum era otonomi daerah dan tiga kali terjadi
setelah era otonomi daerah, yaitu: 1) kurikulum 1947, 2) kurikulum 1964, 3)
kurikulum 1968, 4) kurikulum 1973 (proyek perintis sekolah pembangunan) 5)
kurikulum 1975, 6) kurikulum 1984, 7) kurikulum 1994, 8) kurikulum SMK 1999
(kurikulum 1994 yang disempurnakan) 9) kurikulum 2004 (KBK), 10) kurikulum 2006
(KTSP), 11) kurikulum 2013. [8]
Kurikulum 1947 merupakan kurikulum pertama yang lahir
pada masa kemerdekaan, memakai istilah leer plan (Bahasa Belanda), yang
artinya rencana pelajaran. Disebut dengan nama rentjana pelajran terurai
sekolah dasar. Rasionalnya, pada waktunya itu, pendidikan di Indonesia masih di
pengaruhi oleh sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang sehingga dapat
dikatakan hanya meneruskan yang pernah di gunakan sebelumnya.
Setelah
rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum Indonesia mengalami
penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana Pelajaran Terurai 1952.
Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap pelajaran harus
memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Usai
tahun 1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem
kurikulum pendidikan di Indonesia. Kali ini diberi nama dengan rencana
pendidikan 1964. yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan
pada program pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan
dan jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum
1964. Yaitu perubahan struktur pendiddikan dari pancawardhana menjadi pembinaan
jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Pembelajaran diarahkan
pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan serta pengembangan fisik
yang sehat dan kuat kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968
menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif
Kurikulum 1984 mengusung proses skill approach.
Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan itu penting. Kurikulum
ini juga sering disebut dengan kurikulum 1975 yang disempurnakan.
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya. Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum
1984, antara pendekatan proses. Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan
sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Kemudian KBK tahun 2004 dan KBK tahun 2006 (versi KTSP), bahwa sekolah
diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu
pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur
dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga pengembangan
silabusnya.
Kurikulum 2013 adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan
tematik-integratif. Bertujuan untuk mendorong peserta didik mampu dalam
melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mempresentasikan, apa yang mereka
peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran.[9]
- Isu Sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional) Di Indonesia
Program
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) lahir didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) no 20 tahun
2003 pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional. Untuk memenuhi ketentuan ini, kemendikbud khususnya direktorat
jenderal manajemen pendidkan dasar dan menengah telah merintis beberapa sekolah
yang diharapkan mampu menrapkan standar mutu menuju sekolah bertaraf
internasional. Sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) adalah sekolah yang
memenuhi standar nasional pendidikan
(SNP) serta mempunyai keunggulan yang merujuk pada standar pendidikan salah
satu negara anggota Organization for Economic Co-Coperation Develompment (OECD)
dan/atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang
pendidikan sehingga memiliki kriteria standar nasional pendidikan (SNP) secara
mantap. RSBI/SBI agar benar-benar menjadi RSBI/SBI diberi kesempatan menyiapkan
dirinya selama lima tahun.
Kelompok yang pro yang didominasi
oleh kalangan pemerintah menyatakan RSBI/SBI masih layak dipertahankan seperti
pengakuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M Nuh yang menyatakan bahwa:
“Rintisan sekolah berstandar
internasional (RSBI/SBI) merupakan wadah atau layanan khusus bagi anak-anak
pintar, jika semua anak-anak pintar harus brsekolah di sekolah reguler,
dikhawatirkan tidak ada kesempatan untuk berkembang.”
Namun dikesempatan lain Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M
Nuh juga mempersilakan pihak-pihak yang ingin merevisi atau mengamandemen
Undang-Undang Sistem Penidikan Nasional (UU Sisdiknas) terkait desakan
pengahpusan keberadaan RSBI/SBI.
Kondisi ini menunjukkan bahwa
pemerintahan sendiri masih ragu dengan program RSBI/SBI yang telah dijalnkan,
sehingga memunculkan konflik ditengah masyarkat. Konflik ini telah berkembang
menjadi isu yang tak berujung, sehingga memunculkan komentar-komentar beragam
dikalangan masyarakat.
Jika ditinjau dari awal pembentukan
RSBI/SBI tidak terlepas dari keinginan pemerintah untuk membangun RSBI/SBI di Indonesia dengan
tujuan untuk mengantisipasi perkembangan pendidikan pada era globalisasi.
Hadirnya RSBI berkaitan dengan belum ada sekolah yang memiliki standar yang
ditetapkan OECD sebagai SBI. Oleh karena itu pemerintah menyeleksi dan
menyiapkan sekolah yang masuk ke dalam Sekolah Standar Nasional (SSN) untuk
dipersiapkan menjadi Sekolah Berstandar Internasional (RSBI/SBI). Kebijakan ini
telah bergulir selama 7 tahun dan dari hasil evaluasi dilakukan oleh Direktorat
Pembina SMA menunjukkan bahwa 10% sekolah penyelenggara mengalami kemajuan dan
berubah cepat dalam perbaikan fisik sekolah, perubahan prestasi siswa dalam
meraih kejuaraan internasional, peningkatan kompetensi bahasa Inggris siswa dan
guru, dan kultur dalam kolaborasi internasional namun belum memenuhi standar
OECD untuk ditingkatkan sebagai RSBI/SBI.
Dalam proses persiapannya, icon
RSBI/SBI di mata masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari billingual sebagai
medium of intruction, multi media dalam pembelajaran di kelas, berstandar
internasional, ataupun sebagai sekolah prestisius dengan jalinan kerjasama
antara Indonesia dengan negara-negara anggota OECD maupun lembaga-lembaga
tes/sertifikasi internasional, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, dan
lain-lain.[10]
BAB III
KESIMPULAN
Salah
satu ciri pendidikan di zaman Orde Baru adalah bagaimana bentuk dan
implementasi atau kebijakan pendiidikannya selalu dikaitkan dengan persoalan
pembangunan dan ekonomi.
Pendidikan
di zaman reformasi pada permulaannya, sikapnya seperti halnya Orde Baru
terhadap Orde Lama, yaitu berusaha mencoba membedakan dirinya dengan orde
sebelumnya, yaitu Orde Baru. salah satu bentuk pendidikan di zaman reformasi
yang membedakan adalah diterapkannya otonomi daerah dan otonomi lembaga
pendidikan, terutama perguruan tinggi.
Terkait
sistem dan kebijakan-kebijakan pendidikan di Indonesia, Indonesia menganut
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Perkembangan kurikulum di Indonesia mulai berkembang pada tahun 1947 sampai
sekarang kurikulum 2013, yaitu : Kurikulum 1947 (rencana pembelajaran);
Kurikulum 1952 (Rentjana Pelajaran Terurai); Kurikulum 1964 (rencana
pendidikan); Kurikulum 1968 (pembaharuan dari kurikulum 1964); Kurikulum 1975 (sebagai
pengganti kurikulum 1968 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien
dan efektif); Kurikulum 1984 (kurikulum 1975 yang disempurnakan); Kurikulum
1994 (dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional); Kemudian
KBK tahun 2004 dan KBK tahun 2006 (versi KTSP); dan Kurikulum 2013 adalah
ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif.
Program
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI/SBI) lahir didasarkan pada
ketentuan Undang-Undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) no 20 tahun
2003 pasal 50 ayat 3 yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-‘Ulum; Vol. 2,
Tahun 2013.
Rifa’i, Muhammad. Sejarah
Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Widyastono, Herry, Pengembangan Kurikulum di Era
Otonomi Daerah dari Kurikulum 2004,2006, Ke Kurikulum 2013,Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2014.
[1] Muhammad
Rifa’i, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 190.
[8] Herry Widyastono, Pengembangan Kurikulum di Era
Otonomi Daerah dari Kurikulum 2004,2006, Ke Kurikulum 2013(Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2014),54-55.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar