PERSOALAN
ANAK DAN KETENTUANNYA
Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Masail
Fiqhiyah”
Disusun
oleh:
Izza Amalia (210315288)
Rani Kurnia Sutra (210315272)
Fantris Fitranda (210315166)
KELAS PAI.H
Dosen
pengampu:
Ibnu
Muchlis, M.Hum.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
PONOROGO
MEI 2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Anak
adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk
dapat membantu mengembangkan kemampuannya karena anak lahir dengan segala
kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak akan mungkin dapat mencapai
taraf kemanusiaan yang normal. Menurut Sobur (1988), mengartikan anak sebagai
orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang
dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992),
berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih
sayang, dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari
keluarga, dan keluarga memberi kesempatanbagi anak untuk belajar tingkah laku
yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Dalam
kenyataan kehidupan ini ternyata banyak permasalahan anak yang menyangkut statusnya.
Seperti ada anak kandung, anak pungut, anak adopsi, anak hasil zina, dan anak
hasil inseminasi. Dalam hal ini tentu hukum Islam tidak akan membiarkan
permasalahan ini, karena status anak nantinya akan berhubungan dengan wali
nikah, hak waris dan mahram. Oleh karena dalam kesempatan ini, makalah kami
akan membahas permasalahan anak dalam Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah bayi
tabung/inseminasi buatan menurut hukum Islam?
2.
Bagaimanakah adopsi
dan status hukum anaknya?
3.
Bagaimanakah status
anak zina?
4.
Bagaimanakah status
hukum anak hasil perkawinan beda agama?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hukum Bayi
Tabung / Inseminasi Buatan Menurut Islam
Sebagai akibat kemajuan ilmu
pengetahuan moderndan teknologi kedokteran dan biologi yang anggih, maka
teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau teknologi bayi
tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan bertakwa,
dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa merusak nilai-nilai
agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat negatif lainnya yang tidak
terbayangkan oleh kita sekarang ini. Sebab apa yang bisa dihasilkan oleh
teknologi,belum tentu bisa diterma dengan baik menurut agama,etika, dan hukum
yang hidup di masyarakat.[1]
Kalau kita hendak mengkaji
masalah bayi tabung dari segi hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai
metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad, agar
hukum-hukumijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan
Sunnah yang menjadi pegangan umat Islam. Sudah tentu ulama yang melakukan
ijtihad tentang ini, memerlukan informasi yang cukup tentang teknik dan
prosesterjadinya bayi tabung dari cendekiawan mslim yang ahli dalam bidang
studi yang relevan dengan masalah ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli
biologi. Dengan pengkajian secara multidisipliner ini, dapat ditemukan hukumnya
yang proporsional dan mendasar.
Bayi tabung/inseminasi buatan
apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tida
ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain, maka Islam membenarkan, baik
dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau
uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian
buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan
kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi
buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri
tidak berhasil memperoleh anak.[2]
Sebaliknya, kalau inseinasi
buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau ovum, maka diharamkan,
dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil
ensiminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya.
Dalil-dalil syar’i yang dapat
menjadi landasan hukum untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah
sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an surat
At-Tin ayat 4 yang artinya “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia
diciptakaan oleh Tuhan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan
Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa
menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati martabat sesama manusia.
Sebaliknya inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya merendahkan
harkat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi.[3]
2.
Kaidah hukum fiqh
Islam yang berbunyi “menghindari madharat (bahaya) harus didahulukan atas
mencari/menarik maslaha/kebaikan.
Kita dapat memaklumi bahwa
inseminasi buatan / bayi tabung dengan donor sperma atau ovum lebih
mendatangkan madhorotnya dari pada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa
membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya mandul atau ada
hambatan alami pada suami atau istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dan
sel telur. Misalnya karena saluran telurnya terlalu sempit atau ejakulasinya
terlalu lemah. Namun, mafsadah inseminasi buatan/bayi tabung itu jauh lebih
besar, anatara lain sebagai berikut:
a.
Percampuran nasab,
padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin atau kemurnian nasab,
karena ada kaitannya dengan kemahraman (siapa yang halal dan siapa yang haram
dikawini) dan kewarisan.
b.
Bertentangan dengan
Sunnatulloh.
c.
Inseminasi pada
hakikatnya sama dengan prostitusi/zina, karena terjadi percampuran sperma
dengan ovum tanpa perkawinan yang sah.
d.
Kehadiran anak
hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga,
terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang
bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter anak dengan bapak
ibunya.
e.
Anak hasil
inseminasi buatan / bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan
sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada
umumnya diketahui asal atau nasabnya.
f.
Bayi tabung
lahirtanpa proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu
titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suamiistri yang punya
benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan
ibunya secara alaimi.
Mengenai
status / anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hukum
Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi.
Asumsi Menteri Kesahatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan agama
nantinya bisa menerima bayi tabung seperti halnya KB. Namun harus diingat bahwa
kalngan agama bisa menerima KB karena pemerintah tidah memaksakan alat/cara KB
yang bertentangan dengan agama seperti sterilisasi, dan abortus. Karena itu,
diharapkan pemerintah juga hanya mau mengizinkan praktek bayi tabung yang tidak
bertentangan dengan prinsisp agama, dalam hal ini Islam melarang sama sekali
percampuran nasab dengan perantaraan sperma atau ovum donor.[4]
B.
Anak Adopsi
Adopsi
mempunyai dua pengertian, ialah:
1.
Mengambil anak
orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan ksih sayang, dan
diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi
status anak kandung kepadanya.
2.
Mengambil anak
orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai
nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak
lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Pengertian
kedua dari adopsi di atas adalah pengertian menurut istilah di kalangan agama
dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah membudaya di muka
bumi ini, baik sebelum Islam maupun sesudah Islam, termasuk dimasyarakat
Indonesia.[5]
Sebelum masa kerasulan Muhammad SAW. Bangsa arab sudah
mengenal adopsi seperti pada bangsa romawi, yunani, india dan berbagai bangsa
sebelumnya. Nabi pun pernah mengadopsi zaid ibn harits dan mengubah namanya
menjadi Zaid ibn Muhammad. Hal ini beliau lakukan didepan kaum quraisy sambil
berkata:"saksikanlah oleh bahwa zaid aku adopsi menjadi annaku, ia mewarisiku
dam aku mewarisinya." Kemudian zaid dikawinkan oleh Rosulullah dengan
zainab binti jahsy,puteri umammah binti abd al-Muthalib (bibi nabi). Setelah
kerasulan, turun ayat melarangya:
"Dan (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah ucapan dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan(yang benar).
Panggilah mereka(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka;
itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka,(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu se-agama dan
maula-maulamu (para wali hamba sahaya)". QS al-ahzab/33:4-5.[6]
Bagaimana
pandangan Islam tentang adopsi? Apabila adopsi tabanni (bhs.arab)
diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak
kandung” maka jelas Islam melarang sejak turun surat Al-Ahzab ayat 37yang
menegaskan bahwa:
1)
Adopsi seperti
praktek dan tradisi di zaman jahiliyah yang memberi status kepada anak angkat
sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui
oleh Islam.
2)
Hubungan anak
angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi,
yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak angkat itu diambil
dari intern kerabat sendiri maupun diambil dari luar lingkunagn kerabat.[7]
Yang dimaksud dengan "adopsi" adalah
memasukan nasab kepada seseorang yang bukan anak kandung. Hukumnya adalah haram
menurut islam dan menjadi salah satu dosa besar. Karena adposi dalam arti
seperti itu, akan melahirkan rangkaian dosa besar yang akan terus
berkesinambungan. Bayangkan, anak laki-laki yang diadopsi itu akan hidup
bersama dengan saudara-saudara perempuanya dan dia melihat aurat mereka,
sementara sebenarnya dia adalah orang asing bagi saudara-saudara perempuanya
itu. Dia juga akan terhubung dalam hubungan waris mewarisi, sementara
sebenarnya tidak ada keterkaitan waris mewarisi antara dia dan
"keluarganya" itu sama sekali. Dalam hal-hal seperti itu akan muncul
pengingkaran terhadap hak dan hancurnya nilai –nilai kebajikan.[8]
Hikmah pelarangan adopsi:
1.
Islam sangat memerhatikan tegaknya lembaga keluarga dan menjaga hak-hak
anggotanya karena faktor kekerabatan.
2.
Untuk menghindarkan kesalahpahaman antara yang halal dan haram.
3.
Masuknya anak angkat kedalam salah satu keluarga bisa menimbulkan
permusuhan dalam keluarga tersebut
4.
Islam, adalah agama keadilan dan kebenaran. Salah satu menegakan
keadilan adalah menisbatkan anak kepada orang tua kandungnya, bukan kepada
orang lain.
5.
Jika islam membenarkan adopsi, akan membuka peluang bagi orang yang non
muslim mengadopsi anak yang beragama islam.[9]
Namun, melihat
hubungan yang sangat akrab antara anak angkat dan orang tua angkat, sehingga
merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang
yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap
rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan
asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua ngkat
dituntt memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejehteraan anak
angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah
atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogyanya ahli waris orang tua angkatnya
bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang
sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.
Demikian pula
hendaknya anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya, bersikap
etis dan manusiawi terhadap orang angkatnya dengan memberi hibah atau wasiat
untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telahberjasa membesarkan dan
mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang
tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat mau memberi hibah yang
layak dari harta warisan anak angkatuntuk kesejahteraan orang tua angkatnya.[10]
Terdapat dua
status hukum yang terkait dengan hukum adopsi, yaitu dalam masalah perkawinan
dan kewarisan. Dalam masalah kewarisan, orang tua angkat dan anak angkat tidak
bisa saling mewarisi, sebab ia tetap bernasab dengan orang tua kandungnya.
Demikian juga dalam masalah perkawinan, ia tidak termasuk dalam kandungan ayat
tahrim, sehingga antara ia dan orang tua atau kerabat angkatnya tetap
diperbolehkan saling menikah, justru larangan menikah berlaku antara ia dengan
orang tua kandunganya.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka memelihara kemurnian nasab, Islam
bukan hanya menganjurkan pernikahan dan melarang perzinahan, tetapi Islam juga
tidak membenarka adopsi seperti zaman jahiliyyah yang sampai memutuskan
hubungan nasab antara anak yang diadopsi itu dengan ayah kandungnya.namun jika
adopsi dimaksud tidak sampai memutus total hubungan nasabdan kekeluargaan
antara anaka dengan bapak kandunganya maka hal tersebut sangant dianjurkan
dalam Islam. Jika memang diketahui secara pasti dan bukan sebagai anak hasil
hubungan gelap, perzinahan, dan perselingkuhan, maka ajaran Islam tetap
memperbolehkan tindakan mengangkat anak dengan cara yang demikian ini. Lain
halnya jika memang benar-benar asal-usul anak itu tidak diketahui, maka Islam
memberikan solusi agar anak tersebut dianggap sebagai saudara seagama dan atau
anak angkat mawali dengan tidak menghubungkan nasabnya secara tegas.[11]
C.
Anak Zina
Anak zina ialah
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di
Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berdasarkan ketentuan perundangan tersebut, maka perkawinan penduduk
di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat
oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oleh pegawai
pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi prkawinan tersebut tidak dilakukan
menurut hukum agamanya dan kepercayaannya maka perkawinan tersebut tidak sah
menurut negara. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah itu hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[12]
Menurut hukum
perdata Islam, anak zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan
eksistensinya di dunia ini, sesuai degan firman Alloh dalam Surat An-Njm ayat
38:
‘Bahwasanya
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Karena itu,
aanak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran,
dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Yang
bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidupnya adalah terutama ibunya yang
melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya.
Apabila ibunya
yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati membuangnya untuk
menutup malu/atau aib keluarga, maka siapapun yang menemukan anak zina tersebut
wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang menemukan bayi
tersebut wajib mengasuhnya dan mendidik baik-baik, dan untuk mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atas harta pribadi keluarga tersebut, dan
bisa juga atas bantuan Baitu Mal. Dan bisa juga anak tersebut diserahkan
kepada panti asuhan anak yatim.hanya perlu dicatat, apabila orang yang
menemukan anak tersebut ternyata tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau
tidak dapat dipercaya dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal
dan dari masyarakat Islam, maka wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu,
dan pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan mencukupi kebutuhan hidupnya.[13]
Para ulama
sepakat menyatakan bahwa perzinahan bukan penyebab timbulnya hubungan nasab
anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh dihubungkan dengan nasab
ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang menzinahi
ibunya. Alasan mereka bahwa nasab itu merupakan karunia dan nikmat, sedangkan
perzinaan itu merupakan tindak pidana (jarimah) yang sama sekali tidak
layak mendapat balasan nikmat, melainkan balasan berupa hukuman, baik rajam,
maupun dera seratus kali dan pembuangan, selain itu alasan kuatnya adalah sabda
Nabi dala sebuah hadis:
Dari Abu Hurairah sesungguhnya
Rosululloh bersabda:” Anak itu bagi yang meniduri istri(secara sah) yaitu
suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. (HR. Muslim)
Hadis di atas telah disepakati oleh para ulama dari
berbagai kalangan madzhab sebagai alasan, bahwa pezinaan itu sama sekali tidak
akan berpengaruh terhadap sebab-sebab ketetapan nasab antara anak dengan ayah
biologisnya yang menzinai ibunya. Implikasi dari tidak adanya hubungan hubungan
nasab antara anak dengan ayah akan sangat kelihatan dalam bebrapa aspek
yuridis, dimana lelaki yang secara biologis adalah ayah kandunganya itu
berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak wajib membri nafkah, tidak ada
hubungan waris-mewarisi, bahkan seandainya anak zina itu perempuan, “ayah”
kandungnya tidak diperbolehkan berduaan dengannya, serta laki-laki pezina itu
tidak menjadiwali dalam pernikahan anak perempuan zinanya, sebab antara
keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syariat Islam.[14]
Karena ayah biologisnya tidak bisa bertindak sebagai wali
yang akan menikahkannya, maka wali dalam akad nikahnya adalah wali hakim. Dalam
hal waris, Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa
anak zina itu tidak mewarisi, dan tidak pula mewariskan dari/kepada “ayah” atau
kerabat ayahnya itu. Ia hanya mewarisi dan mewariskan diri atau kepada pihak
ibu dan kerabat ibunya. Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim,
menurutnya anak zina tidak mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ayahnya,
dan tidak bisa menuntut nafkah, namun antara keduanya masih terdapat hubungan
kemahraman.
Sementara itu pandangan paling keras disampaikan oleh
ulama Syi’ah Ismailiyyah, mereka berpendapat bahwa anak zina tidak mewarisi dan
tidak pula mewariskan baik dari “ayah” dan kerabatnya maupun dari ibu dan
kerabatnya. Wali nikah bagi perempuan anak zina adalah wali hakim. Perempuan
anak zina digolongkan kedalam mar’ah dani’ah (perempuan yang martabatnya
rendah). Sebuah pendapat ulama yang keras dan tentu saja berbeda dengan
prisnsip Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Anak Indonesia.
Dengan demikian gagasan ulama Syi’ah Ismailiah yang
menafikan nasab anak zina secara mutlak, baik kepada ayah maupun ibu jelas akan
sangat berakibat burukbagi anak manusia itu. Hal ini bertentangan dengan
pendapat jumhur ulama fiqh Ahlussunnah yang memandang anak zina masih
bernasab dengan ibu kandunganya.[15]
D.
Anak Hasil
Perkawinan Beda Agama
Anak
sebagian dari anggota keluarga dihasilkan dari sebuah perkawinan yang sah yang
akan mendapatkan hak-haknya secara hukum, baik menurut hukum islam maupun hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Di antaranya hak nasab kepada kedua orang
tuanya dan hak-hak keperdataan lainnya, karena kedudukan hukumnya sebagai anak
sah. Adapun anak yang dihasilkan dari sebuah hubungan atau perkawinan yang
tidak sah mengakibatkan terhalangnya atau hilangnya hak nasab dan hak-hak
keperdataannya.
Pernikahan
beda agama merupakan pernikahan yang tidak diakui keabsahannya di hadapan hukum
islam, maupun hukum positif mengingat indonesia adalah negara yang berdasarkan
ketuhanan Yang Maha Esa sehingga nilai dan hukum islam sangat dipertimbangkan.
Karena hukum islam sebagai authoritative source (sumber otoritatif), yaitu
sumber yang mempunyai kekuatan (authority).
Hal
ini berdampak pada status atau kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari
pernikahan tersebut. Maka dapat dipahami bahwa kedudukan hukum anak yang
dihasilkan dari perkawinan beda agama adalah:
1. Dalam
hukum islam yang berdasarkan pemahaman mayoritas jumbur ulama, jika perkawinan
beda agama itu berlangsung antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, maka
pernikahanya sah dan anak yang dihasilkan pun sah secara hukum islam.
2. Menurut
hukum islam yang berdasarkan pada pemahaman mayoritas jumhur ulama, jika
perkawinan beda agama yang berlangsung antara pria muslim dengan wanita
musyrik, maka pernikahannya tidak sah walaupun sebagian ulama ada yang
membolehkan. Namun, berdasarkan pendapat pertama yaitu dari kalangan jumhur
ulama, peneliti menilai bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah
anak zina karena dianggap tidak ada pernikahan diantara orang tua biologisnya.
3. Adapun
pernikahan beda agama (tanpa terkecuali) menurut hukum positif dan hukum islam
yang terkondifikasi dalam kompilasi hukum islam sebagaihukum yang berlaku
diindonesia adalah, pernikahan yang tidak sah. Maka anak yang lahir darinya
tidak sah dihadapan hukum atau sama dengan anak zina, karena ia lahir dari
pernikahan yang tidak sah sehingga tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap
anak maupun istri.[16]
Anak
yang dihasilkan dari pernikahan beda agama yang diperbolehkan, maka anak
tersebut berhak mendapatkan hak dinasabkan kepada ayahnya dan hak kewarisan
atau keperdataan islam lainnya, selama anak tersebut beragama islam sesuai
dengan ayahnya. Namun, jika anak tersebut mengikuti agama ibunya yaitu menjadi
non musim, maka itu menjadi penghalang dalam menerima waris secara islam.
Adapun
anak yang dihasilkan dari pernikahan beda agama yang dilarang jelas tidak
mendapatkan hak nasab dan keperdataan lainnya karena ia lahir diluar pernikahan
yang sah, baik agama maupun negara. Berbeda dengan pernikahan beda yang
diperbolehkan yabg masih ada celah untuk menerima hak keperdataan anak karena
ia lahir dari pernikahan yang sah menurut agama. Namun tidak sah menurut
negara,terkecuali melakukan cara-cara yang dianggap sebagai bagian penyelundup
hukum dalam kasus cara yang dianggap sebagai bagian penyelundupan hukum dalam
kasus cara yang dianggap sebagai bagian penyelundupan hukum dalam kasus
pernikahan beda agama di indonesia, tapi hal ini mengakibatkan hilangnya
kepastian hukum yang menjadi tujuan dari adanya hukum itu sendiri.[17]
BAB
III
KESIMPULAN
A. Hukum Bayi Tabung
/ Inseminasi Buatan Menurut Islam
Sebagai akibat
kemajuan ilmu pengetahuan moderndan teknologi kedokteran dan biologi yang
anggih, maka teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau
teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan
bertakwa, dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa merusak
nilai-nilai agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat negatif lainnya
yang tidak terbayangkan oleh kita sekarang ini. Sebab apa yang bisa dihasilkan
oleh teknologi,belum tentu bisa diterma dengan baik menurut agama,etika, dan
hukum yang hidup di masyarakat.
B. Anak Adopsi
Adopsi
mempunyai dua pengertian, ialah:
1. Mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan ksih
sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri,
tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
2. Mengambil
anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak
memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan
hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
C. Anak Zina
Anak zina
ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang
diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
D. Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
Anak
sebagian dari anggota keluarga dihasilkan dari sebuah perkawinan yang sah yang
akan mendapatkan hak-haknya secara hukum, baik menurut hukum islam maupun hukum
positif yang berlaku di Indonesia. Di antaranya hak nasab kepada kedua orang
tuanya dan hak-hak keperdataan lainnya, karena kedudukan hukumnya sebagai anak
sah. Adapun anak yang dihasilkan dari sebuah hubungan atau perkawinan yang
tidak sah mengakibatkan terhalangnya atau hilangnya hak nasab dan hak-hak
keperdataannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Irfan, Nurul. Nasab
dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah. 2012.
Muyassar, Sayyid
Ahmad. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah Tangga. Kairo: Erlangga. 2009.
Sulistiana, Siska Lis.KedudukanHukumAnak.Bandung: PT RefikaAditama. 2015.
Yaswirman. Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek
Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Rajawali Pers.2013.
Zuhdi Masjfuk. Masail
Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. (Jakarta: CV Haji Masagung. 1992.
[1]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum
Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), 18-19.
[6]Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek
Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), 252-253.
[8]Sayyid Ahmad Muyassar, Islam Bicara Soal Seks,
Percintaan, dan Rumah Tangga (Kairo: Erlangga, 2009), 271-272.
[16]Siska
Lis Sulistiana, KedudukanHukumAnak(Bandung: PT RefikaAditama, 2015),
101-102.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar