Blog masa kini yang berisi kontent inspiratif

MAKALAH 7 - Masail Fiqhiyah - PERSOALAN ANAK DAN KETENTUANNYA

PERSOALAN ANAK DAN KETENTUANNYA
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
LOGO IAIN.jpg“Masail Fiqhiyah”







Disusun oleh:
Izza Amalia                                 (210315288)
Rani Kurnia Sutra     (210315272)
Fantris Fitranda         (210315166)
KELAS PAI.H

Dosen pengampu:
Ibnu Muchlis, M.Hum.


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
MEI 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Anak adalah makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuannya karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa orang lain anak tidak akan mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal. Menurut Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran, perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan. Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang, dan tempat bagi perkembangannya. Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatanbagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama.
Dalam kenyataan kehidupan ini ternyata banyak permasalahan anak yang menyangkut statusnya. Seperti ada anak kandung, anak pungut, anak adopsi, anak hasil zina, dan anak hasil inseminasi. Dalam hal ini tentu hukum Islam tidak akan membiarkan permasalahan ini, karena status anak nantinya akan berhubungan dengan wali nikah, hak waris dan mahram. Oleh karena dalam kesempatan ini, makalah kami akan membahas permasalahan anak dalam Islam.
B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimanakah bayi tabung/inseminasi buatan menurut hukum Islam?
2.        Bagaimanakah adopsi dan status hukum anaknya?
3.        Bagaimanakah status anak zina?
4.        Bagaimanakah status hukum anak hasil perkawinan beda agama?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Hukum Bayi Tabung / Inseminasi Buatan Menurut Islam
Sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan moderndan teknologi kedokteran dan biologi yang anggih, maka teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan bertakwa, dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa merusak nilai-nilai agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat negatif lainnya yang tidak terbayangkan oleh kita sekarang ini. Sebab apa yang bisa dihasilkan oleh teknologi,belum tentu bisa diterma dengan baik menurut agama,etika, dan hukum yang hidup di masyarakat.[1]
Kalau kita hendak mengkaji masalah bayi tabung dari segi hukum Islam, maka harus dikaji dengan memakai metode ijtihad yang lazim dipakai oleh para ahli ijtihad, agar hukum-hukumijtihadnya sesuai dengan prinsip-prinsip dan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadi pegangan umat Islam. Sudah tentu ulama yang melakukan ijtihad tentang ini, memerlukan informasi yang cukup tentang teknik dan prosesterjadinya bayi tabung dari cendekiawan mslim yang ahli dalam bidang studi yang relevan dengan masalah ini, misalnya ahli kedokteran dan ahli biologi. Dengan pengkajian secara multidisipliner ini, dapat ditemukan hukumnya yang proporsional dan mendasar.
Bayi tabung/inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tida ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain, maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.[2]
Sebaliknya, kalau inseinasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil ensiminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.
Dalil-dalil syar’i yang dapat menjadi landasan hukum untuk mengharamkan inseminasi buatan dengan donor, ialah sebagai berikut:
1.        Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4 yang artinya “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia diciptakaan oleh Tuhan sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya sendiri dan juga menghormati martabat sesama manusia. Sebaliknya inseminasi buatan dengan donor itu pada hakikatnya merendahkan harkat manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi.[3]
2.        Kaidah hukum fiqh Islam yang berbunyi “menghindari madharat (bahaya) harus didahulukan atas mencari/menarik maslaha/kebaikan.
Kita dapat memaklumi bahwa inseminasi buatan / bayi tabung dengan donor sperma atau ovum lebih mendatangkan madhorotnya dari pada maslahahnya. Maslahahnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah satunya mandul atau ada hambatan alami pada suami atau istri yang menghalangi bertemunya sel sperma dan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya terlalu sempit atau ejakulasinya terlalu lemah. Namun, mafsadah inseminasi buatan/bayi tabung itu jauh lebih besar, anatara lain sebagai berikut:
a.       Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin atau kemurnian nasab, karena ada kaitannya dengan kemahraman (siapa yang halal dan siapa yang haram dikawini) dan kewarisan.
b.     Bertentangan dengan Sunnatulloh.
c.       Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi/zina, karena terjadi percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah.
d.      Kehadiran anak hasil inseminasi buatan bisa menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor merupakan anak yang sangat unik yang bisa berbeda sekali bentuk dan sifat-sifat fisik dan karakter anak dengan bapak ibunya.
e.        Anak hasil inseminasi buatan / bayi tabung yang percampuran nasabnya terselubung dan sangat dirahasiakan donornya adalah lebih jelek daripada anak adopsi yang pada umumnya diketahui asal atau nasabnya.
f.        Bayi tabung lahirtanpa proses kasih sayang yang alami, terutama bagi bayi tabung lewat ibu titipan yang harus menyerahkan bayinya kepada pasangan suamiistri yang punya benihnya, sesuai dengan kontrak, tidak terjalin hubungan keibuan antara anak dengan ibunya secara alaimi.
Mengenai status / anak hasil inseminasi dengan donor sperma atau ovum menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil prostitusi. Asumsi Menteri Kesahatan bahwa masyarakat Indonesia termasuk kalangan agama nantinya bisa menerima bayi tabung seperti halnya KB. Namun harus diingat bahwa kalngan agama bisa menerima KB karena pemerintah tidah memaksakan alat/cara KB yang bertentangan dengan agama seperti sterilisasi, dan abortus. Karena itu, diharapkan pemerintah juga hanya mau mengizinkan praktek bayi tabung yang tidak bertentangan dengan prinsisp agama, dalam hal ini Islam melarang sama sekali percampuran nasab dengan perantaraan sperma atau ovum donor.[4]
B.       Anak Adopsi
Adopsi mempunyai dua pengertian, ialah:
1.       Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan ksih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
2.       Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
Pengertian kedua dari adopsi di atas adalah pengertian menurut istilah di kalangan agama dan adat di masyarakat. Dan adopsi menurut istilah ini telah membudaya di muka bumi ini, baik sebelum Islam maupun sesudah Islam, termasuk dimasyarakat Indonesia.[5]
Sebelum masa kerasulan Muhammad SAW. Bangsa arab sudah mengenal adopsi seperti pada bangsa romawi, yunani, india dan berbagai bangsa sebelumnya. Nabi pun pernah mengadopsi zaid ibn harits dan mengubah namanya menjadi Zaid ibn Muhammad. Hal ini beliau lakukan didepan kaum quraisy sambil berkata:"saksikanlah oleh bahwa zaid aku adopsi menjadi annaku, ia mewarisiku dam aku mewarisinya." Kemudian zaid dikawinkan oleh Rosulullah dengan zainab binti jahsy,puteri umammah binti abd al-Muthalib (bibi nabi). Setelah kerasulan, turun ayat melarangya:
"Dan (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah ucapan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan(yang benar). Panggilah mereka(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,(panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu se-agama dan maula-maulamu (para wali hamba sahaya)". QS al-ahzab/33:4-5.[6]
Bagaimana pandangan Islam tentang adopsi? Apabila adopsi tabanni (bhs.arab) diartikan sebagai “pengangkatan anak orang lain dengan status seperti anak kandung” maka jelas Islam melarang sejak turun surat Al-Ahzab ayat 37yang menegaskan bahwa:
1)       Adopsi seperti praktek dan tradisi di zaman jahiliyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan status anak kandung tidak dibenarkan (dilarang) dan tidak diakui oleh Islam.
2)       Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarganya tetap seperti sebelum diadopsi, yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan, baik anak angkat itu diambil dari intern kerabat sendiri maupun diambil dari luar lingkunagn kerabat.[7]
Yang dimaksud dengan "adopsi" adalah memasukan nasab kepada seseorang yang bukan anak kandung. Hukumnya adalah haram menurut islam dan menjadi salah satu dosa besar. Karena adposi dalam arti seperti itu, akan melahirkan rangkaian dosa besar yang akan terus berkesinambungan. Bayangkan, anak laki-laki yang diadopsi itu akan hidup bersama dengan saudara-saudara perempuanya dan dia melihat aurat mereka, sementara sebenarnya dia adalah orang asing bagi saudara-saudara perempuanya itu. Dia juga akan terhubung dalam hubungan waris mewarisi, sementara sebenarnya tidak ada keterkaitan waris mewarisi antara dia dan "keluarganya" itu sama sekali. Dalam hal-hal seperti itu akan muncul pengingkaran terhadap hak dan hancurnya nilai –nilai kebajikan.[8]
Hikmah pelarangan adopsi:
1.      Islam sangat memerhatikan tegaknya lembaga keluarga dan menjaga hak-hak anggotanya karena faktor kekerabatan.
2.      Untuk menghindarkan kesalahpahaman antara yang halal dan haram.
3.      Masuknya anak angkat kedalam salah satu keluarga bisa menimbulkan permusuhan dalam keluarga tersebut
4.      Islam, adalah agama keadilan dan kebenaran. Salah satu menegakan keadilan adalah menisbatkan anak kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang lain.
5.      Jika islam membenarkan adopsi, akan membuka peluang bagi orang yang non muslim mengadopsi anak yang beragama islam.[9]
Namun, melihat hubungan yang sangat akrab antara anak angkat dan orang tua angkat, sehingga merupakan suatu kesatuan keluarga yang utuh yang diikat oleh rasa kasih sayang yang murni, dan memperhatikan pula pengabdian dan jasa anak angkat terhadap rumah tangga orang tua angkat termasuk kehidupan ekonominya, maka sesuai dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi oleh Islam, secara moral orang tua ngkat dituntt memberi hibah atau wasiat sebagian hartanya untuk kesejehteraan anak angkatnya. Dan apabila orang tua angkat waktu masih hidup lalai memberi hibah atau wasiat kepada anak angkat, maka seyogyanya ahli waris orang tua angkatnya bersedia memberi hibah yang pantas dari harta peninggalan orang tua angkat yang sesuai dengan pengabdian dan jasa anak angkat.
Demikian pula hendaknya anak angkat yang telah mampu mandiri dan sejahtera hidupnya, bersikap etis dan manusiawi terhadap orang angkatnya dengan memberi hibah atau wasiat untuk kesejahteraan orang tua angkatnya yang telahberjasa membesarkan dan mendidiknya. Dan kalau anak angkat lalai memberi hibah atau wasiat untuk orang tua angkatnya, maka hendaknya ahli waris anak angkat mau memberi hibah yang layak dari harta warisan anak angkatuntuk kesejahteraan orang tua angkatnya.[10]
Terdapat dua status hukum yang terkait dengan hukum adopsi, yaitu dalam masalah perkawinan dan kewarisan. Dalam masalah kewarisan, orang tua angkat dan anak angkat tidak bisa saling mewarisi, sebab ia tetap bernasab dengan orang tua kandungnya. Demikian juga dalam masalah perkawinan, ia tidak termasuk dalam kandungan ayat tahrim, sehingga antara ia dan orang tua atau kerabat angkatnya tetap diperbolehkan saling menikah, justru larangan menikah berlaku antara ia dengan orang tua kandunganya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka memelihara kemurnian nasab, Islam bukan hanya menganjurkan pernikahan dan melarang perzinahan, tetapi Islam juga tidak membenarka adopsi seperti zaman jahiliyyah yang sampai memutuskan hubungan nasab antara anak yang diadopsi itu dengan ayah kandungnya.namun jika adopsi dimaksud tidak sampai memutus total hubungan nasabdan kekeluargaan antara anaka dengan bapak kandunganya maka hal tersebut sangant dianjurkan dalam Islam. Jika memang diketahui secara pasti dan bukan sebagai anak hasil hubungan gelap, perzinahan, dan perselingkuhan, maka ajaran Islam tetap memperbolehkan tindakan mengangkat anak dengan cara yang demikian ini. Lain halnya jika memang benar-benar asal-usul anak itu tidak diketahui, maka Islam memberikan solusi agar anak tersebut dianggap sebagai saudara seagama dan atau anak angkat mawali dengan tidak menghubungkan nasabnya secara tegas.[11]
C.      Anak Zina
Anak zina ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan perundangan tersebut, maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oleh pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi prkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya maka perkawinan tersebut tidak sah menurut negara. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[12]
Menurut hukum perdata Islam, anak zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai degan firman Alloh dalam Surat An-Njm ayat 38:
‘Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Karena itu, aanak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidupnya adalah terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.
Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai hati membuangnya untuk menutup malu/atau aib keluarga, maka siapapun yang menemukan anak zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Keluarga yang menemukan bayi tersebut wajib mengasuhnya dan mendidik baik-baik, dan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut, bisa atas harta pribadi keluarga tersebut, dan bisa juga atas bantuan Baitu Mal. Dan bisa juga anak tersebut diserahkan kepada panti asuhan anak yatim.hanya perlu dicatat, apabila orang yang menemukan anak tersebut ternyata tidak baik cara mengasuh dan mendidiknya, atau tidak dapat dipercaya dalam penggunaan bantuan keuangan dari Baitul Mal dan dari masyarakat Islam, maka wajib dicabut hak perwaliannya atas anak itu, dan pemerintah wajib mengurusi, mengawasi, dan mencukupi kebutuhan hidupnya.[13]
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinahan bukan penyebab timbulnya hubungan nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh dihubungkan dengan nasab ayahnya, meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang menzinahi ibunya. Alasan mereka bahwa nasab itu merupakan karunia dan nikmat, sedangkan perzinaan itu merupakan tindak pidana (jarimah) yang sama sekali tidak layak mendapat balasan nikmat, melainkan balasan berupa hukuman, baik rajam, maupun dera seratus kali dan pembuangan, selain itu alasan kuatnya adalah sabda Nabi dala sebuah hadis:
Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rosululloh bersabda:” Anak itu bagi yang meniduri istri(secara sah) yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. (HR. Muslim)
Hadis di atas telah disepakati oleh para ulama dari berbagai kalangan madzhab sebagai alasan, bahwa pezinaan itu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap sebab-sebab ketetapan nasab antara anak dengan ayah biologisnya yang menzinai ibunya. Implikasi dari tidak adanya hubungan hubungan nasab antara anak dengan ayah akan sangat kelihatan dalam bebrapa aspek yuridis, dimana lelaki yang secara biologis adalah ayah kandunganya itu berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak wajib membri nafkah, tidak ada hubungan waris-mewarisi, bahkan seandainya anak zina itu perempuan, “ayah” kandungnya tidak diperbolehkan berduaan dengannya, serta laki-laki pezina itu tidak menjadiwali dalam pernikahan anak perempuan zinanya, sebab antara keduanya tidak ada hubungan sama sekali dalam syariat Islam.[14]
Karena ayah biologisnya tidak bisa bertindak sebagai wali yang akan menikahkannya, maka wali dalam akad nikahnya adalah wali hakim. Dalam hal waris, Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat bahwa anak zina itu tidak mewarisi, dan tidak pula mewariskan dari/kepada “ayah” atau kerabat ayahnya itu. Ia hanya mewarisi dan mewariskan diri atau kepada pihak ibu dan kerabat ibunya. Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Al-Qayyim, menurutnya anak zina tidak mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ayahnya, dan tidak bisa menuntut nafkah, namun antara keduanya masih terdapat hubungan kemahraman.
Sementara itu pandangan paling keras disampaikan oleh ulama Syi’ah Ismailiyyah, mereka berpendapat bahwa anak zina tidak mewarisi dan tidak pula mewariskan baik dari “ayah” dan kerabatnya maupun dari ibu dan kerabatnya. Wali nikah bagi perempuan anak zina adalah wali hakim. Perempuan anak zina digolongkan kedalam mar’ah dani’ah (perempuan yang martabatnya rendah). Sebuah pendapat ulama yang keras dan tentu saja berbeda dengan prisnsip Hak Asasi Manusia dan UU Perlindungan Anak Indonesia.
Dengan demikian gagasan ulama Syi’ah Ismailiah yang menafikan nasab anak zina secara mutlak, baik kepada ayah maupun ibu jelas akan sangat berakibat burukbagi anak manusia itu. Hal ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama fiqh Ahlussunnah yang memandang anak zina masih bernasab dengan ibu kandunganya.[15]
D.      Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
Anak sebagian dari anggota keluarga dihasilkan dari sebuah perkawinan yang sah yang akan mendapatkan hak-haknya secara hukum, baik menurut hukum islam maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di antaranya hak nasab kepada kedua orang tuanya dan hak-hak keperdataan lainnya, karena kedudukan hukumnya sebagai anak sah. Adapun anak yang dihasilkan dari sebuah hubungan atau perkawinan yang tidak sah mengakibatkan terhalangnya atau hilangnya hak nasab dan hak-hak keperdataannya.
Pernikahan beda agama merupakan pernikahan yang tidak diakui keabsahannya di hadapan hukum islam, maupun hukum positif mengingat indonesia adalah negara yang berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa sehingga nilai dan hukum islam sangat dipertimbangkan. Karena hukum islam sebagai authoritative source (sumber otoritatif), yaitu sumber yang mempunyai kekuatan (authority).
Hal ini berdampak pada status atau kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut. Maka dapat dipahami bahwa kedudukan hukum anak yang dihasilkan dari perkawinan beda agama adalah:
1. Dalam hukum islam yang berdasarkan pemahaman mayoritas jumbur ulama, jika perkawinan beda agama itu berlangsung antara pria muslim dengan wanita ahl al-kitab, maka pernikahanya sah dan anak yang dihasilkan pun sah secara hukum islam.
2. Menurut hukum islam yang berdasarkan pada pemahaman mayoritas jumhur ulama, jika perkawinan beda agama yang berlangsung antara pria muslim dengan wanita musyrik, maka pernikahannya tidak sah walaupun sebagian ulama ada yang membolehkan. Namun, berdasarkan pendapat pertama yaitu dari kalangan jumhur ulama, peneliti menilai bahwa anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak zina karena dianggap tidak ada pernikahan diantara orang tua biologisnya.
3. Adapun pernikahan beda agama (tanpa terkecuali) menurut hukum positif dan hukum islam yang terkondifikasi dalam kompilasi hukum islam sebagaihukum yang berlaku diindonesia adalah, pernikahan yang tidak sah. Maka anak yang lahir darinya tidak sah dihadapan hukum atau sama dengan anak zina, karena ia lahir dari pernikahan yang tidak sah sehingga tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap anak maupun istri.[16]
Anak yang dihasilkan dari pernikahan beda agama yang diperbolehkan, maka anak tersebut berhak mendapatkan hak dinasabkan kepada ayahnya dan hak kewarisan atau keperdataan islam lainnya, selama anak tersebut beragama islam sesuai dengan ayahnya. Namun, jika anak tersebut mengikuti agama ibunya yaitu menjadi non musim, maka itu menjadi penghalang dalam menerima waris secara islam.
Adapun anak yang dihasilkan dari pernikahan beda agama yang dilarang jelas tidak mendapatkan hak nasab dan keperdataan lainnya karena ia lahir diluar pernikahan yang sah, baik agama maupun negara. Berbeda dengan pernikahan beda yang diperbolehkan yabg masih ada celah untuk menerima hak keperdataan anak karena ia lahir dari pernikahan yang sah menurut agama. Namun tidak sah menurut negara,terkecuali melakukan cara-cara yang dianggap sebagai bagian penyelundup hukum dalam kasus cara yang dianggap sebagai bagian penyelundupan hukum dalam kasus cara yang dianggap sebagai bagian penyelundupan hukum dalam kasus pernikahan beda agama di indonesia, tapi hal ini mengakibatkan hilangnya kepastian hukum yang menjadi tujuan dari adanya hukum itu sendiri.[17]






















BAB III
KESIMPULAN
A.  Hukum Bayi Tabung / Inseminasi Buatan Menurut Islam
Sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan moderndan teknologi kedokteran dan biologi yang anggih, maka teknologi bayi tabung juga maju dengan pesat, sehingga kalau teknologi bayi tabung ini ditangani oleh orang-orang yang kurang beriman dan bertakwa, dikhawatirkan dapat merusak peradaban umat manusia, bisa merusak nilai-nilai agama, moral, dan budaya bangsa, serta akibat-akibat negatif lainnya yang tidak terbayangkan oleh kita sekarang ini. Sebab apa yang bisa dihasilkan oleh teknologi,belum tentu bisa diterma dengan baik menurut agama,etika, dan hukum yang hidup di masyarakat.
B. Anak Adopsi
Adopsi mempunyai dua pengertian, ialah:
1. Mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan ksih sayang, dan diperlakukan oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung kepadanya.
2. Mengambil anak orang lain untuk diberi status sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisi harta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dengan orang tua.
C. Anak Zina
Anak zina ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
Anak sebagian dari anggota keluarga dihasilkan dari sebuah perkawinan yang sah yang akan mendapatkan hak-haknya secara hukum, baik menurut hukum islam maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia. Di antaranya hak nasab kepada kedua orang tuanya dan hak-hak keperdataan lainnya, karena kedudukan hukumnya sebagai anak sah. Adapun anak yang dihasilkan dari sebuah hubungan atau perkawinan yang tidak sah mengakibatkan terhalangnya atau hilangnya hak nasab dan hak-hak keperdataannya.



























DAFTAR PUSTAKA

Irfan, Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam. Jakarta: Amzah.                  2012.
Muyassar, Sayyid Ahmad. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah                 Tangga. Kairo: Erlangga. 2009.
Sulistiana, Siska Lis.KedudukanHukumAnak.Bandung: PT RefikaAditama.                 2015.
Yaswirman. Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan                 Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: Rajawali Pers.2013.
Zuhdi Masjfuk. Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam. (Jakarta: CV                 Haji Masagung. 1992.



[1]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1992), 18-19.
[2]Ibid., 20.
[3]Ibid., 21.
[4]Ibid., 24-25.
[5]Ibid., 27.
[6]Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 252-253.
[7]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 28-29.
[8]Sayyid Ahmad Muyassar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan, dan Rumah Tangga (Kairo: Erlangga, 2009), 271-272.
[9]Yaswirman, Hukum Keluarga, 255-256.
[10]Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 29-30.
[11]Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 75-76.
[12]Masjfuk Zuhdi, MasailFiqhiyah, 37.
[13]Ibid., 38-39.
[14]Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak, 114-115.
[15]Ibid., 116-118.
[16]Siska Lis Sulistiana, KedudukanHukumAnak(Bandung: PT RefikaAditama, 2015), 101-102.
[17]Ibid.,105-106.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Popular Posts

Blog Archive

PAI.H

PAI.H
Kita lebih dari sekedar teman, we are family