Blog masa kini yang berisi kontent inspiratif

MAKALAH 10 - Masail Fiqhiyyah - HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Masail Fiqhiyyah”
LOGO IAIN.jpg
Disusun Oleh:
Kelompok 10/Kelas PAI. H

Elok Kuneta Faradila                       (210315281)
Firdaus Zainul Fanani                      (210315289)
Jannatunna’im                                  (210315283)

Dosen Pengampu:
Ibnu Muchlis, M. Hum.


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
JUNI 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setiap ide- ide yang cemerlang dan kreatif yang tercipta dari seseorang atau sekelompok orang sebagai bentuk dari kemampuan intelektual manusia yang berguna dan memberi dampak baik dari berbagai aspek  perlu diakui dan perlu dilindungi, agar ide- ide cemerlang dan kreatif yang telah diciptakan tidak diklaim atau di bajak oleh pihak lain. Untuk itu diperlukan wadah yang dapat membantu menaugi ide-ide cemerlang dan kreatif tersebut.untuk tingkat internasional organisasi yang mewaadahi bidan HAKI (Hak atas kekayaan intelektual) adalah WIPO (Word Intellectual Property Organization).
Di Indonesia, Undang- undang yang melindungi karya cipta adalah Undang- undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan telah diundangkan Undang- undang yang terbaru yaitu UU. No.19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang mulai berlaku 12 bulan sejak diundangkan. Tidak hanya karya cipta, invensi di bidang teknologi (hak paten) dan kreasi tentang penggabungan antara unsure bentuk, warnam garis serta tandaa yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan jasa (merek) juga perlu diakui dan dilindungi dibawaah perlindungan hukum. Dengan kata lain Hak atas Kekayaaan Intelektual ( HAKI).


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian hak kekayaan intelektual?
2.      Apa yang dimaksud dengan hak cipta?
3.      Bagaimana hukum membajak hak cipta?
4.      Bagaimana hukum memanfaatkan barang bajakan hak cipta?


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah terjemahan resmi Intellectual Property Rights. Berdasarkan substansinya, HAKI berhubungan erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya Intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. WIPO (World Intellectual Property Organization), sebuah lembaga Internasional di bawah PBB yang menangani masalah HAKI mendefinisikan HAKI sebagai sebuah kreasi yang dihasilkan dari pikiran manusia yang meliputi: invensi, karya sastra, simbol, nama, citra dan desain yang digunakan di dalam perdagangan.[1] Karya- karya Intelektualitas seperti hasil penelitian, seni dan karya sastra,yang mencakup semua karya tulis (literary works), seperti buku, program komputer, database, laporan teknis, manuskripsi, karya arsitektur, peta, hasil terjemahan, hingga apresiasi budaya yang memiliki kualitas seni yang tinggi, tidak lahir begitu saja, akan tetapi memerlukan banyak “energi” dan tidak jarang disertai dengan pengeluaran biaya yang besar.[2]
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) muncul sebagai suatu sistem aturan hukum yang mencoba mengcover mengenai perlindungan terhadap semua kekayaan intelektual dan aspek-aspeknya yang muncul dari kreativitas manusia gunan memberikan jaminan kepastian hukum bagi manusia atas hasil kreasinya dan yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.[3] Dalam hal ini, manfaat yang dimaksud adalah nilai ekonomi dalam karya tersebut.[4] HAKI merupakan satu bentuk khazanah keilmuan baru yang mencoba membidangi mengenai masalah perlindungan terhadap kreasi-kreasi intelektual manusia.[5]
Hal yang wajar ketika sesuatu yang berharga dan bernilai kemudian dilakukan upaya-upaya perlindungan guna menjaga dari campur tangan pihak lain, atau guna mencegah tindakan orang lain yang dapat merugikan pihak yang secara sah menjadi pemilik atas hal tersebut. Beberapa pakar mencoba memberikan pemahaman tentang arti pentingnya HAKI dalam konteks perlindungan hukumnya. Abdulkodir Muhammad misalnya, memberikan beberapa item yang mewakili gagasannya dalam memberikan penjelasan mengenai masalah arti pentingnya HAKI itu sendiri. Salah satunya adalah bahwa HAKI dapat diinterpretasikan sebagai sebuah bukti penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. HAKI merupakan salah satu bentuk hasil berpikir manusia yang kemudian dijelmakan ke dalam sebuah ciptaan atau temuan. Temuan tersebut dapat dilihat bahwa di dalamnya terdapat unsur pembangunnya yang tiu berasal dari akal, dan dengan ini manusia dapat mengembangkan dan memanfaatkannya guna kesejahteraan hidupnya.[6]
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu:
1.    Hak Cipta (Copyrights)
a.       Hak Cipta orisinil
b.      Hak Cipta Turunan (Neighbouring Rights)
2.    Hak Milik Perindustrian (Industrial Property Rights)
a.    Paten
b.    Desain Industri
c.    Rahasia Dagang
d.   Merek Dagang
e.    Tata Letak Sirkuit Terpadu
f.     Sumber Tanda atau Sebutan Asal[7]

B.  Pengertian Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa seizin pemegangnya. Hak ini dimiliki pencipta atau pihak yang menerima hak dari pencipta. Hak eksklusif ini dilaksanakan tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan hak cipta sebagaimana diatur pada Bagian Kelima UU Hak Cipta 2002.[8]
Berdasarkan Pasal 1 Nomor 4 UU Hak Cipta 2002, yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut dari pihak yang menerima hak tersebut.[9]
Menurut Hutauruk, ada dua unsur penting yang terkandung dalam rumusan pengertian hak cipta, yaitu:
1.    Hak yang dapat dialihkan, dipindahkan kepada orang lain.
2.    Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).[10]
Mengenai permasalahan ciptaan yang dilindungi, secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 sudah disebutkan, yaitu:
1.    Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tukis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.
2.    Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu.
3.    Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4.    Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
5.    Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantonim.
6.    Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan.
7.    Arsiterkut.
8.    Peta.
9.    Seni batik.
10.     Fotografi.
11.     Sinematografi.
12.     Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.[11]

C.  Hukum Membajak Hak Cipta
Pembajakan adalah penyalinan atau penyebaran secara tidak sah atas obyek ciptaan yang dilindungi Undang-undang.[12] Pelaksanaan hak cipta dalam implementasinya merupakan bentuk proses interaksi beberapa pihak. Interaksi itu dapat terjadi antara pihak pemegang hak cipta dengan penikmat ciptaan, atau antara pemegang hak cipta dengan pihak di bidang industri yang memanfaatkan ciptaan di bidang tersebut, dan sebagainya. Terkadang dalam proses interaksi tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus, akhirnya menimbulkan gesekan-gesekan masalah antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Munculnya aturan-aturan hukum yang ada di bidang hak cipta pada dasarnya dimunculkan dalam rangka upaya preventif mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran di bidang hak cipta dan juga munculnya aturan hukum tersebut dapat digunakan sebagai upaya represif ketika memang terjadi sengketa/masalah di bidang hak cipta.[13]
Bentuk atau wujud perbuatan dari pelanggaran disini dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah pembajakan. Berdasarkan rumusan pasal 72 ayat 1, 2, 3 dan pasal 73 ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2002, dapat dilihat disana bahwa unsur-unsur yang termasuk pelanggaran adalah: 1) barang siapa, 2) dengan sengaja, 3) tanpa hak, 4) mengumumkan atau menjual, 5) hak cipta dari hak terkait.[14]
Hukum membajak hak cipta:
1.    Menurut Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 memberikan kesempatan dalam penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluang untuk menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dn 73 UUHC tahun 2002. Pasal 72 ayat 1 misalnya, menetapkan bahwa barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau menyiarkan rekaman suara dan/ atau gambar pertunjukan, yang dilindungi hak cipta dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan diancam dengan hukuman pidana penjara paling singkat satu bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[15]
Apabila terjadi pelanggaran hak cipta dapat diselesaikan dari segi pidananya terlebih dahulu dan tidak menutup kemungkinan pihak korban akan menyelesaikan dari segi perdatanya juga. Jika perkara pidananya dapat selesai lebih dahulu dan pelakunya diputus terbukti bersalah melakukan pelanggaran hak cipta sehingga yang bersangkutan di hukum pidana, maka hasilnya dapat digunakan untuk membantu penyelesaian perdatanya. Putusan hakim dalam perkara pidana dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara perdatanya. Putusan tersebut merupakan alat bukti surat yang dapat membuktikan adanya peristiwa pelanggaran hak cipta.[16]
Gugatan perdata yang terhadap sengketa hak cipta ini didasarkan pada asumsi bahwa pengambilan hak cipta tanpa izin dari pemiliknya atau dari yang berhak dapat digugat dengan mendasarkan pada pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian”.[17]
Apabila ditinjau dari pasal 56 UUHC tahun 2002, menyebutkan bahwa pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada pengadilan niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil pembajakan ciptaan itu. Hal itu merupakan satu bentuk upaya untuk mempertahankan hak pemegang hak cipta.[18]
2.    Menurut Pandangan Islam.
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman Al-Qur’an dan Al-Hadits telah mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang menghargai hasil cipta atau karya orang lain. Hukum Islam memandang tindakan seseorang yang melanggar hak cipta hanyalah sebatas domain halal atau haram. Halal dalam arti sah untuk dilakukan, sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada pelanggaranya dikatakan telah berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di akhirat.[19]
Mengenai hak cipta seperti karya tulis, menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya, sebab karya tulis itu merupakan hasil usaha yang halal melalui kemampuan berpikir dan menulis, sehingga karya tulis itu menjadi hak milik pribadi. Karena itu karya tulis itu dilindungi hukum, sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapa pun yang berani melanggar hak cipta seseorang. Misalnya, dengan cara pencurian, penyerobotan, penggelapan, pembajakan, plagiat, dan sebagainya.[20]
Di dalam ajaran Islam terhadap larangan mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an terdapat pada Surah al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْاأَيْدِيَهُمَا جَزَآءًبِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّهِ ۗ  وَاللّهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ ۝
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw sendiri sangat tegas menjatuhkan hukuman kepada siapapun saja yang terbukti melakukan pencurian, sebagai sabdanya: “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari). Ketegasan aturan mengnai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan Islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh setiap orang.Bagaimanapun hak hak milik harus dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang dicuri secara individual, namun juga secara sosial dalam arti luas atau bahkan juga menciderai nilai itu juga termasuk mendhalimi Allah swt karena dianggap tidak mematuhi larangannya.[21]
Islam sangat menghargai karya tulis yang bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab ia termasuk amal shalih yang pahalanya terus-menerus bagi penulisnya, sekalipun ia telah meninggal sebagaimana dalam Hadits Nabi Riwayat Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah r.a.:
إِذَامَاتَ ابْنُ آدَمَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍجَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ .
Apabila anak adam (manusia) itu meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orangtuanya.
Karena hak cipta itu merupakan hak milik pribadi, maka agama melarang orang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta) dalam memfotokopinya, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan bisnis. Demikian pula menterjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberi hak untuk menerbitkannya.[22]
Perbuatan memfotokopi, mencetak, menerjemahkan, membaca, dan sebagainya terhadap karya tulis seseorang tanpa izin penulis sebagai pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau penerbit yang diberi wewenang oleh penulisnya, adalah perbuatan yang tidak etis dan dilarang oleh Islam. Sebab perbuatan semacam itu bisa termasuk kategori pencurian, kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan diambil dari tempat penyimpanan karya tulis itu, atau disebut dengan perampasan perampokan, kalau dilakukan dengan terang-terangan dan kekerasan disebut dengan pencopetan, kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan di luar tempat penyimpanannya yang semestinya disebut dengan penggelapan/khianat, kalau dilakukan dengan melanggar amanat/perjanjiannya, misalnya, penerbit mencetak 10.000 eksemplar padahal menurut perjanjian hanya mencetak 5.000 eksemplar, atau disebut ghosobah kalau dilakukan dengan cara dan motif selain tersebut di atas.[23]
Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di atas antara lain sebagai berikut:
1.    Surat Al-Baqarah ayat 188:
وَلَاتَأْكُلُوْااَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ...
Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil.
2.    Hadits Nabi riwayat al-Darraquthni dari Anas:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ اِلَّا بِطِيْبٍ مِنْ نَفْسِهِ.
Tidak halal harta milik seorang Muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.[24]
Ayat dan hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak memakai/menggunakan hak orang lain, dan tidak pula memakan harta orang lain, kecuali dengan persetejuannya. Dan pelanggaran terhadap hak orang lain termasuk hak cipta bisa termasuk ke dalam kategori muflis, yakni orang yang rugi amalnya di akhirat nanti.
Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik pribadi itu bersifat sosial, karena hak milik pribadi pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya. Karenanya, karya tulis itu pun harus bisa dimanfaatkan oleh umat, tidak boleh dirusak, dibakar atau disembunyikan oleh penulisnya.
Penulis atau penerbit tidak dilarang oleh agama mencantumkan “Dilarang mengutip dan/ atau memperbanyak dalam bentuk apa pun apabila tidak ada izin tertulis dari penulis/penerbit”, sebab pernyataan tersebut dilakukan hanya bertujuan untuk melindungi hak ciptanya dari usaha pembajakan, plagiat, dan sebagainya yang menurut peraturan perundang-undangan kita juga dilindungi. Jadi, pernyataan tersebut jelas bukan bermaksud untuk menyembunyikan ilmunya, sebab siapa pun dapat memperbanyak, mencetak, dan sebagainya setelah mendapat izin atau mengadakan perjanjian dengan penulis/ahli waris atau penerbitnya.[25]

D.  Hukum Memanfaatkan Barang Bajakan Hak Cipta
1.    Menurut Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 memberikan kesempatan dalam penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluang untuk menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dan 73 UUHC tahun 2002. Pasal 72 ayat 1 misalnya, menetapkan bahwa barang siapa dengan sengaja tanpa hak melakukan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau menyiarkan rekaman suara dan/ atau gambar pertunjukan, yang dilindungi hak cipta dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan diancam dengan hukuman pidana penjara paling singkat satu bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
          Dalam hal ini memanfaatkan barang bajakan tidak boleh karena dalamUU telah tertuang jelas, hukuman-hukuman  bagi siap saja yang  menggunakna atau memanfaatkan barang bajakan tidak diperbolehkan..[26]
2.    Menurut Pandangan Islam.
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman al-Qur’an dan Sunnah telah mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang menghargai hasil cipta atau karya orang lain. Hukum Islam memandang tindakan seseorang yang melanggar hak cipta hanyalah sebatas domain halal atau haram.Halal dalam arti sah untuk dilakukan, sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada pelanggaranya dikatakan telah berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di akhirat.
Di dalam ajaran Islam terhadap larangan mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an terdapat pada Surah al-Maidah, 5:38 yang artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya (sebagai)  pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha perkasa dan Maha bijaksana.
Ketegasan aturan mengenai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan Islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh setiap orang.Bagaimanapun hak hak milik harus dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang dicuri secara individual, namun juga termasuk mendhalimi Allah swt karena dianggap tidak mematuhi larangannya.
Majelis Ulama Indonesia sebagai resmi pengawal hukum Islam di Indinesia, juga telah menetapkan bahwa hak kekayaan intelektual di pandang sebagai salah satu huqqul al-maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum sebagai mal (kekayaan).Salah satunya adalah berkaitan dengan hak cipta
Tentu saja sebaliknya, masyarakat selaku pengguna atau penikmat jasa ciptaan, seyogyanya menghargai setiap karya ciptaan orang lain. Setiap hasil ciptaan sudah barang tentu melekat hak atau kepemilikan bagi si penciptanya, sehingga dengan demikian jika sekiranya terjadi praktik duplikasi atau peniruan tanpa seizin pemiliknya, maka dapat dikatakan telah merampas hak orang lain tanpa alasan yang sah.
Hak cipta dalam pandangan Islam adalah hak kekayaan yang harus mendapat perlindungan hukum sebagaimana perlindungan hukum terhadap harta milik seseorang.
 Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa hak-hak cipta itu menurut syariat terpelihara.Para pemiliknya bebas memperlakukan hak cipta itu sekehendak mereka.Tak seorangpun yang berhak melanggarnya, namun dengan syarat, jangan sampai dalam karya karya tulis itu ada yang melanggar syariat Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari lembaga pengkajian fikih islam yang lahir dari organisasi konferensi islam pada perrengahan kelima di Kuwait tahun 1409 H, bertetapan dengan tahun 1988 M.36 Islam melarang terhadap perbuatan pencurian yang dalam hal ini bisa dicontohkan seperti praktik pembajakan dan penggandaan karya tulis yang sering terjadi di indosia. Perbutan itu jelas merupakan tindakan pidana menurut hukum islam.[27]




























BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagi berikut:
A.    Pengertian HAKI
 adalah sebagai sebuah kreasi yang dihasilkan dari pikiran manusia yang meliputi: invensi, karya sastra, simbol, nama, citra dan desain yang digunakan di dalam perdagangan.
B.     Pengertian Hak cipta
 adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C.    Hukum menggunakan Hak Cipta
1.      Menurut Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 memberikan kesempatan dalam penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluan untuk menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dn 73 UUHC tahun 2002. Pasal 72 ayat 1 diancam dengan hukuman pidana penjara paling singkat satu bulan dan atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2.      Menurut islam
Menurut islam terdapat  dalam Surat Al-Baqarah ayat 188: Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil
D.    Hukum Memanfaatkan Barang Bajakan Hak Cipta
1.      Menurut pemerintah
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 memberikan kesempatan dalam penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluang untuk menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dan 73 UUHC tahun 2002. Pasal 72 ayat 1. Bahwa tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang bajakan.
2.      Menurut islam
Hak cipta dalam pandangan Islam adalah hak kekayaan yang harus mendapat perlindungan hukum sebagaimana perlindungan hukum terhadap harta milik seseorang.
 Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa hak-hak cipta itu menurut syariat terpelihara.Para pemiliknya bebas memperlakukan hak cipta itu sekehendak mereka.Tak seorangpun yang berhak melanggarnya, namun dengan syarat, jangan sampai dalam karya karya tulis itu ada yang melanggar syariat Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari lembaga pengkajian fikih islam yang lahir dari organisasi konferensi islam pada perrengahan kelima di Kuwait tahun 1409 H, bertetapan dengan tahun 1988 M.36.
















DAFTAR PUSTAKA

Djakfar, Muhammad Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah. Malang: UIN Malang Press, 2009.


Lutviansori, Arif. Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.


Nahrowi, “Plagiat dan Pembajakan Karya Cipta dalam Hak Kekayaan Intelektual”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum (Maret 2015).
Sania, Nur. “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, Jurnal At-Tijaroh Volume 1 Nomor 2 ( Juli-Desember 2015).


Senewe, Emma Valentina Teresha. “Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta Dalam Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah”, Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum Volume 2 Nomor 2 (Oktober 2015).


Supramono, Gatot. Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010.


Thoha, Aris Badaruddin. “Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ramadania Volume 2 Nomor 2 (Februari 2014).


Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.


[1] Emma Valentina Teresha Senewe, “Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta Dalam Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah”, Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum Volume 2 Nomor 2 (Oktober 2015), 17
[2] Nur Sania, “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, Jurnal At-Tijaroh Volume 1 Nomor 2 ( Juli-Desember 2015), 60.
[3] Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 27.
[4] Aris Badaruddin Thoha, “Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam Perspektif Islam”, Jurnal Ramadania Volume 2 Nomor 2 (Februari 2014), 4.
[5] Ansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, 50.
[6] Ibid., 42-44.
[7] Ibid., 52.
[8] Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 9.
[9] Ibid.
[10] Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, 69.
[11] Ibid., 76-77.
[12] Nahrowi, “Plagiat dan Pembajakan Karya Cipta dalam Hak Kekayaan Intelektual”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum (Maret 2015), 231.
[13] Ibid., 83.
[14] Ibid., 84.
[15] Ibid., 86.
[16] Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, 117.
[17] Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia, 87.
[18] Ibid., 88.
[19] Nur Sania, “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, 72.
[20] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), 212.
[21] Nur Sania, “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, 72.
[22] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, 212.
[23] Ibid., 213.
[24] Ibid.
[25] Ibid.,214.
[26] Nahrowi, “Plagiat dan Pembajakan,86
[27]Muhammad Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan Syariah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 251-257 
Share:

1 komentar:

Cari Blog Ini

Popular Posts

Blog Archive

PAI.H

PAI.H
Kita lebih dari sekedar teman, we are family