
Makalah
ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Masail
Fiqhiyyah”

Disusun Oleh:
Kelompok
10/Kelas PAI. H
Elok Kuneta Faradila (210315281)
Firdaus
Zainul Fanani (210315289)
Jannatunna’im (210315283)
Dosen Pengampu:
Ibnu
Muchlis, M. Hum.
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
PONOROGO
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap ide- ide yang cemerlang dan kreatif yang tercipta
dari seseorang atau sekelompok orang sebagai bentuk dari kemampuan intelektual
manusia yang berguna dan memberi dampak baik dari berbagai aspek perlu diakui dan perlu dilindungi, agar ide-
ide cemerlang dan kreatif yang telah diciptakan tidak diklaim atau di bajak
oleh pihak lain. Untuk itu
diperlukan wadah yang dapat membantu menaugi ide-ide cemerlang dan kreatif
tersebut.untuk tingkat internasional organisasi yang mewaadahi bidan HAKI (Hak
atas kekayaan intelektual) adalah WIPO (Word Intellectual Property
Organization).
Di Indonesia, Undang- undang yang melindungi karya cipta adalah
Undang- undang nomor 6 tahun 1982 tentang hak cipta, dan telah diundangkan
Undang- undang yang terbaru yaitu UU. No.19 Tahun 2002 tentang hak cipta yang
mulai berlaku 12 bulan sejak diundangkan. Tidak hanya karya cipta, invensi di
bidang teknologi (hak paten) dan kreasi tentang penggabungan antara unsure
bentuk, warnam garis serta tandaa yang digunakan untuk kegiatan perdagangan dan
jasa (merek) juga perlu diakui dan dilindungi dibawaah perlindungan hukum.
Dengan kata lain Hak atas Kekayaaan Intelektual ( HAKI).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hak kekayaan intelektual?
2. Apa yang dimaksud dengan hak cipta?
3. Bagaimana hukum membajak hak cipta?
4. Bagaimana hukum memanfaatkan barang bajakan
hak cipta?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) adalah
terjemahan resmi Intellectual Property Rights. Berdasarkan substansinya,
HAKI berhubungan erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya
Intelektual yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. WIPO (World
Intellectual Property Organization), sebuah lembaga Internasional di bawah
PBB yang menangani masalah HAKI mendefinisikan HAKI sebagai sebuah kreasi yang
dihasilkan dari pikiran manusia yang meliputi: invensi, karya sastra, simbol,
nama, citra dan desain yang digunakan di dalam perdagangan.[1] Karya-
karya Intelektualitas seperti hasil penelitian, seni dan karya sastra,yang
mencakup semua karya tulis (literary works), seperti buku, program komputer,
database, laporan teknis, manuskripsi, karya arsitektur, peta, hasil
terjemahan, hingga apresiasi budaya yang memiliki kualitas seni yang tinggi,
tidak lahir begitu saja, akan tetapi memerlukan banyak “energi” dan tidak
jarang disertai dengan pengeluaran biaya yang besar.[2]
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) muncul sebagai
suatu sistem aturan hukum yang mencoba mengcover mengenai perlindungan terhadap
semua kekayaan intelektual dan aspek-aspeknya yang muncul dari kreativitas
manusia gunan memberikan jaminan kepastian hukum bagi manusia atas hasil
kreasinya dan yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.[3] Dalam
hal ini, manfaat yang dimaksud adalah nilai ekonomi dalam karya tersebut.[4] HAKI
merupakan satu bentuk khazanah keilmuan baru yang mencoba membidangi mengenai
masalah perlindungan terhadap kreasi-kreasi intelektual manusia.[5]
Hal yang wajar ketika sesuatu yang berharga
dan bernilai kemudian dilakukan upaya-upaya perlindungan guna menjaga dari
campur tangan pihak lain, atau guna mencegah tindakan orang lain yang dapat
merugikan pihak yang secara sah menjadi pemilik atas hal tersebut. Beberapa
pakar mencoba memberikan pemahaman tentang arti pentingnya HAKI dalam konteks
perlindungan hukumnya. Abdulkodir Muhammad misalnya, memberikan beberapa item
yang mewakili gagasannya dalam memberikan penjelasan mengenai masalah arti
pentingnya HAKI itu sendiri. Salah satunya adalah bahwa HAKI dapat
diinterpretasikan sebagai sebuah bukti penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. HAKI merupakan salah satu bentuk hasil berpikir manusia yang
kemudian dijelmakan ke dalam sebuah ciptaan atau temuan. Temuan tersebut dapat
dilihat bahwa di dalamnya terdapat unsur pembangunnya yang tiu berasal dari
akal, dan dengan ini manusia dapat mengembangkan dan memanfaatkannya guna
kesejahteraan hidupnya.[6]
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu:
1. Hak Cipta (Copyrights)
a. Hak Cipta orisinil
b. Hak Cipta Turunan (Neighbouring Rights)
2. Hak Milik Perindustrian (Industrial
Property Rights)
a. Paten
b. Desain Industri
c. Rahasia Dagang
d. Merek Dagang
e. Tata Letak Sirkuit Terpadu
f. Sumber Tanda atau Sebutan Asal[7]
B. Pengertian Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan
bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak
tersebut tanpa seizin pemegangnya. Hak ini dimiliki pencipta atau pihak yang
menerima hak dari pencipta. Hak eksklusif ini dilaksanakan tanpa mengurangi
pembatasan-pembatasan hak cipta sebagaimana diatur pada Bagian Kelima UU Hak
Cipta 2002.[8]
Berdasarkan Pasal 1 Nomor 4 UU Hak Cipta 2002,
yang dimaksud dengan pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak
cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain
yang menerima lebih lanjut dari pihak yang menerima hak tersebut.[9]
Menurut Hutauruk, ada dua unsur penting yang
terkandung dalam rumusan pengertian hak cipta, yaitu:
1. Hak yang dapat dialihkan, dipindahkan kepada
orang lain.
2. Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun, dan
dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya (mengumumkan karyanya,
menetapkan judulnya, mencantumkan sebenarnya atau nama samarannya dan
mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya).[10]
Mengenai permasalahan ciptaan yang dilindungi, secara eksplisit dalam
ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 sudah disebutkan, yaitu:
1. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay
out) karya tukis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.
2. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang
sejenis dengan itu.
3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, dan pantonim.
6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni
lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan
seni terapan.
7. Arsiterkut.
8. Peta.
9. Seni batik.
10. Fotografi.
11. Sinematografi.
12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai,
database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.[11]
C. Hukum Membajak Hak Cipta
Pembajakan adalah penyalinan atau penyebaran
secara tidak sah atas obyek ciptaan yang dilindungi Undang-undang.[12] Pelaksanaan
hak cipta dalam implementasinya merupakan bentuk proses interaksi beberapa pihak.
Interaksi itu dapat terjadi antara pihak pemegang hak cipta dengan penikmat
ciptaan, atau antara pemegang hak cipta dengan pihak di bidang industri yang
memanfaatkan ciptaan di bidang tersebut, dan sebagainya. Terkadang dalam proses
interaksi tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus, akhirnya menimbulkan
gesekan-gesekan masalah antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Munculnya aturan-aturan hukum yang ada di
bidang hak cipta pada dasarnya dimunculkan dalam rangka upaya preventif
mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran di bidang hak cipta dan juga
munculnya aturan hukum tersebut dapat digunakan sebagai upaya represif ketika
memang terjadi sengketa/masalah di bidang hak cipta.[13]
Bentuk atau wujud perbuatan dari pelanggaran
disini dapat bermacam-macam. Salah satunya adalah pembajakan. Berdasarkan
rumusan pasal 72 ayat 1, 2, 3 dan pasal 73 ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2002, dapat
dilihat disana bahwa unsur-unsur yang termasuk pelanggaran adalah: 1) barang
siapa, 2) dengan sengaja, 3) tanpa hak, 4) mengumumkan atau menjual, 5) hak
cipta dari hak terkait.[14]
Hukum membajak hak cipta:
1. Menurut Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002
memberikan kesempatan dalam penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluang untuk
menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dn 73
UUHC tahun 2002. Pasal 72 ayat 1 misalnya, menetapkan bahwa barang siapa dengan
sengaja tanpa hak melakukan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau menyiarkan rekaman suara dan/ atau gambar pertunjukan, yang
dilindungi hak cipta dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan diancam dengan
hukuman pidana penjara paling singkat satu bulan dan/ atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan/ atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[15]
Apabila terjadi pelanggaran hak cipta dapat
diselesaikan dari segi pidananya terlebih dahulu dan tidak menutup kemungkinan
pihak korban akan menyelesaikan dari segi perdatanya juga. Jika perkara
pidananya dapat selesai lebih dahulu dan pelakunya diputus terbukti bersalah
melakukan pelanggaran hak cipta sehingga yang bersangkutan di hukum pidana, maka
hasilnya dapat digunakan untuk membantu penyelesaian perdatanya. Putusan hakim
dalam perkara pidana dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara
perdatanya. Putusan tersebut merupakan alat bukti surat yang dapat membuktikan
adanya peristiwa pelanggaran hak cipta.[16]
Gugatan perdata yang terhadap sengketa hak
cipta ini didasarkan pada asumsi bahwa pengambilan hak cipta tanpa izin dari
pemiliknya atau dari yang berhak dapat digugat dengan mendasarkan pada pasal
1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Pasal tersebut menyebutkan
bahwa “setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian
pada orang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian
itu mengganti kerugian”.[17]
Apabila ditinjau dari pasal 56 UUHC tahun
2002, menyebutkan bahwa pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi
kepada pengadilan niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan
terhadap benda yang diumumkan atau hasil pembajakan ciptaan itu. Hal itu
merupakan satu bentuk upaya untuk mempertahankan hak pemegang hak cipta.[18]
2. Menurut Pandangan Islam.
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman
Al-Qur’an dan Al-Hadits telah mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang
menghargai hasil cipta atau karya orang lain. Hukum Islam memandang tindakan
seseorang yang melanggar hak cipta hanyalah sebatas domain halal atau haram. Halal
dalam arti sah untuk dilakukan, sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras
untuk dilakukan. Karena itu kepada pelanggaranya dikatakan telah berbuat dosa
dan akan mendapat siksa kelak di akhirat.[19]
Mengenai hak cipta seperti karya tulis,
menurut pandangan Islam tetap pada penulisnya, sebab karya tulis itu merupakan
hasil usaha yang halal melalui kemampuan berpikir dan menulis, sehingga karya
tulis itu menjadi hak milik pribadi. Karena itu karya tulis itu dilindungi
hukum, sehingga bisa dikenakan sanksi hukuman terhadap siapa pun yang berani
melanggar hak cipta seseorang. Misalnya, dengan cara pencurian, penyerobotan,
penggelapan, pembajakan, plagiat, dan sebagainya.[20]
Di dalam ajaran Islam terhadap larangan
mencuri, hukum mencuri telah ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an terdapat
pada Surah al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْاأَيْدِيَهُمَا جَزَآءًبِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ
اللّهِ ۗ وَاللّهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ
Adapun orang laki-laki
maupun perempuan yang mencuri, maka potonglah tangan keduanya sebagai balasan
atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah
Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Dalam kaitan ini Nabi Muhammad saw sendiri
sangat tegas menjatuhkan hukuman kepada siapapun saja yang terbukti melakukan
pencurian, sebagai sabdanya: “Demi Allah! Kalau sekiranya Fatimah binti
Muhammad yang mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (Riwayat Bukhari). Ketegasan
aturan mengnai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan Islam mengenai hak
milik yang harus dihormati oleh setiap orang.Bagaimanapun hak hak milik harus
dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri
bukan hanya dianggap merugikan orang dicuri secara individual, namun juga
secara sosial dalam arti luas atau bahkan juga menciderai nilai itu juga
termasuk mendhalimi Allah swt karena dianggap tidak mematuhi larangannya.[21]
Islam sangat menghargai karya tulis yang
bermanfaat untuk kepentingan agama dan umat, sebab ia termasuk amal shalih yang
pahalanya terus-menerus bagi penulisnya, sekalipun ia telah meninggal
sebagaimana dalam Hadits Nabi Riwayat Bukhari dan lain-lain dari Abu Hurairah
r.a.:
إِذَامَاتَ
ابْنُ آدَمَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍجَارِيَةٍ أَوْعِلْمٍ
يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ .
Apabila anak adam (manusia) itu meninggal
dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara, yaitu: Sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kedua orangtuanya.
Karena hak cipta itu merupakan hak milik
pribadi, maka agama melarang orang yang tidak berhak (bukan pemilik hak cipta)
dalam memfotokopinya, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan
bisnis. Demikian pula menterjemahkannya ke dalam bahasa lain dan sebagainya
dilarang, kecuali dengan izin penulisnya atau penerbit yang diberi hak untuk
menerbitkannya.[22]
Perbuatan memfotokopi, mencetak,
menerjemahkan, membaca, dan sebagainya terhadap karya tulis seseorang tanpa
izin penulis sebagai pemilik hak cipta atau ahli warisnya yang sah atau
penerbit yang diberi wewenang oleh penulisnya, adalah perbuatan yang tidak etis
dan dilarang oleh Islam. Sebab perbuatan semacam itu bisa termasuk kategori
pencurian, kalau dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan diambil dari tempat
penyimpanan karya tulis itu, atau disebut dengan perampasan perampokan, kalau
dilakukan dengan terang-terangan dan kekerasan disebut dengan pencopetan, kalau
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan di luar tempat penyimpanannya yang semestinya
disebut dengan penggelapan/khianat, kalau dilakukan dengan melanggar
amanat/perjanjiannya, misalnya, penerbit mencetak 10.000 eksemplar padahal
menurut perjanjian hanya mencetak 5.000 eksemplar, atau disebut ghosobah kalau
dilakukan dengan cara dan motif selain tersebut di atas.[23]
Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan
dasar melarang pelanggaran hak cipta dengan perbuatan-perbuatan tersebut di
atas antara lain sebagai berikut:
1.
Surat Al-Baqarah ayat 188:
وَلَاتَأْكُلُوْااَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ...
Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
yang lain dengan jalan yang bathil.
2.
Hadits Nabi riwayat al-Darraquthni dari Anas:
لَايَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ
اِلَّا بِطِيْبٍ مِنْ نَفْسِهِ.
Tidak halal harta milik seorang Muslim kecuali
dengan kerelaan hatinya.[24]
Ayat dan hadits di atas mengingatkan umat Islam agar tidak
memakai/menggunakan hak orang lain, dan tidak pula memakan harta orang lain,
kecuali dengan persetejuannya. Dan pelanggaran terhadap hak orang lain termasuk
hak cipta bisa termasuk ke dalam kategori muflis, yakni orang yang rugi
amalnya di akhirat nanti.
Islam menghormati hak milik pribadi, tetapi hak milik pribadi itu bersifat
sosial, karena hak milik pribadi pada hakikatnya adalah hak milik Allah yang
diamanatkan kepada orang yang kebetulan memilikinya. Karenanya, karya tulis itu
pun harus bisa dimanfaatkan oleh umat, tidak boleh dirusak, dibakar atau
disembunyikan oleh penulisnya.
Penulis atau penerbit tidak dilarang oleh agama mencantumkan “Dilarang
mengutip dan/ atau memperbanyak dalam bentuk apa pun apabila tidak ada izin
tertulis dari penulis/penerbit”, sebab pernyataan tersebut dilakukan hanya
bertujuan untuk melindungi hak ciptanya dari usaha pembajakan, plagiat, dan sebagainya
yang menurut peraturan perundang-undangan kita juga dilindungi. Jadi,
pernyataan tersebut jelas bukan bermaksud untuk menyembunyikan ilmunya, sebab
siapa pun dapat memperbanyak, mencetak, dan sebagainya setelah mendapat izin
atau mengadakan perjanjian dengan penulis/ahli waris atau penerbitnya.[25]
D.
Hukum Memanfaatkan Barang Bajakan Hak Cipta
1. Menurut Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 memberikan kesempatan dalam
penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluang untuk
menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dan 73 UUHC tahun
2002. Pasal 72 ayat 1 misalnya, menetapkan bahwa barang siapa dengan sengaja
tanpa hak melakukan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
menyiarkan rekaman suara dan/ atau gambar pertunjukan, yang dilindungi hak
cipta dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan diancam dengan hukuman pidana
penjara paling singkat satu bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan/ atau denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Dalam hal ini memanfaatkan barang
bajakan tidak boleh karena dalamUU telah tertuang jelas, hukuman-hukuman bagi siap saja yang menggunakna atau memanfaatkan barang bajakan
tidak diperbolehkan..[26]
2. Menurut Pandangan Islam.
Islam sebagai agama yang mempunyai pedoman al-Qur’an dan Sunnah telah
mengatur atau menjelaskan bagaimana seseorang menghargai hasil cipta atau karya
orang lain. Hukum Islam memandang tindakan seseorang yang melanggar hak cipta
hanyalah sebatas domain halal atau haram.Halal dalam arti sah untuk dilakukan,
sedangkan haram, sebaliknya, dilarang keras untuk dilakukan. Karena itu kepada
pelanggaranya dikatakan telah berbuat dosa dan akan mendapat siksa kelak di
akhirat.
Di dalam ajaran Islam terhadap larangan mencuri, hukum mencuri telah
ditegaskan dalam kitab suci al-Qur’an terdapat pada Surah al-Maidah, 5:38 yang
artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua
tangannya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha perkasa dan
Maha bijaksana.
Ketegasan aturan mengenai perbuatan “mencuri” ini menunjukkan pengakuan
Islam mengenai hak milik yang harus dihormati oleh setiap orang.Bagaimanapun
hak hak milik harus dilindungi dan perlu diatur perpindahannya secara adil. Di dalam Islam, mencuri bukan hanya dianggap merugikan orang dicuri
secara individual, namun juga termasuk mendhalimi Allah swt karena dianggap
tidak mematuhi larangannya.
Majelis
Ulama Indonesia sebagai resmi pengawal hukum Islam di Indinesia, juga telah
menetapkan bahwa hak kekayaan intelektual di pandang sebagai salah satu huqqul
al-maliyyah (hak kekayaan) yang mendapat perlindungan hukum sebagai mal
(kekayaan).Salah satunya adalah berkaitan dengan hak cipta
Tentu
saja sebaliknya, masyarakat selaku pengguna atau penikmat jasa ciptaan,
seyogyanya menghargai setiap karya ciptaan orang lain. Setiap hasil ciptaan
sudah barang tentu melekat hak atau kepemilikan bagi si penciptanya, sehingga
dengan demikian jika sekiranya terjadi praktik duplikasi atau peniruan tanpa
seizin pemiliknya, maka dapat dikatakan telah merampas hak orang lain tanpa
alasan yang sah.
Hak
cipta dalam pandangan Islam adalah hak kekayaan yang harus mendapat
perlindungan hukum sebagaimana perlindungan hukum terhadap harta milik
seseorang.
Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa
hak-hak cipta itu menurut syariat terpelihara.Para pemiliknya bebas
memperlakukan hak cipta itu sekehendak mereka.Tak seorangpun yang berhak melanggarnya,
namun dengan syarat, jangan sampai dalam karya karya tulis itu ada yang
melanggar syariat Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari
lembaga pengkajian fikih islam yang lahir dari organisasi konferensi islam pada
perrengahan kelima di Kuwait tahun 1409 H, bertetapan dengan tahun 1988 M.36
Islam melarang terhadap perbuatan pencurian yang dalam hal ini bisa dicontohkan
seperti praktik pembajakan dan penggandaan karya tulis yang sering terjadi di
indosia. Perbutan itu jelas merupakan tindakan pidana menurut hukum islam.[27]
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagi berikut:
A.
Pengertian
HAKI
adalah sebagai sebuah kreasi yang dihasilkan dari pikiran
manusia yang meliputi: invensi, karya sastra, simbol, nama, citra dan desain
yang digunakan di dalam perdagangan.
B.
Pengertian
Hak cipta
adalah
hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C.
Hukum
menggunakan Hak Cipta
1.
Menurut Pemerintah.
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002
memberikan kesempatan dalam penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluan untuk menyelesaikan
hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dn 73 UUHC tahun 2002.
Pasal 72 ayat 1 diancam dengan hukuman pidana penjara paling singkat satu bulan
dan atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan atau denda paling banyak
Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2.
Menurut
islam
Menurut islam terdapat dalam
Surat Al-Baqarah ayat 188: Janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang
bathil
D.
Hukum Memanfaatkan Barang Bajakan Hak Cipta
1.
Menurut
pemerintah
Undang-undang Hak Cipta Nomor 19 tahun 2002 memberikan kesempatan dalam
penyelesaian sengketa hak cipta ini. Peluang untuk
menyelesaikan hak cipta secara pidana ini dapat dilihat dalam pasal 72 dan 73 UUHC tahun
2002. Pasal 72 ayat 1. Bahwa
tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang bajakan.
2.
Menurut
islam
Hak cipta dalam pandangan Islam
adalah hak kekayaan yang harus mendapat perlindungan hukum sebagaimana
perlindungan hukum terhadap harta milik seseorang.
Kalangan ulama kontemporer bersepakat bahwa
hak-hak cipta itu menurut syariat terpelihara.Para pemiliknya bebas
memperlakukan hak cipta itu sekehendak mereka.Tak seorangpun yang berhak
melanggarnya, namun dengan syarat, jangan sampai dalam karya karya tulis itu
ada yang melanggar syariat Islam yang lurus. Itulah yang menjadi keputusan akhir dari lembaga pengkajian fikih
islam yang lahir dari organisasi konferensi islam pada perrengahan kelima di
Kuwait tahun 1409 H, bertetapan dengan tahun 1988 M.36.
DAFTAR PUSTAKA
Djakfar,
Muhammad Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan
Syariah. Malang: UIN Malang Press, 2009.
Lutviansori, Arif. Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010.
Nahrowi, “Plagiat dan Pembajakan Karya Cipta dalam Hak Kekayaan
Intelektual”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum (Maret 2015).
Sania, Nur. “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam
dalam Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, Jurnal At-Tijaroh Volume 1
Nomor 2 ( Juli-Desember 2015).
Senewe, Emma Valentina Teresha. “Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta Dalam Melindungi Karya Seni
Tradisional Daerah”, Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum Volume 2 Nomor 2 (Oktober
2015).
Supramono, Gatot. Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2010.
Thoha, Aris Badaruddin. “Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam
Perspektif Islam”, Jurnal Ramadania Volume 2 Nomor 2 (Februari
2014).
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum
Islam. Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.
[1]
Emma Valentina Teresha Senewe, “Efektivitas Pengaturan Hukum Hak Cipta
Dalam Melindungi Karya Seni Tradisional Daerah”, Jurnal LPPM Bidang
EkoSosBudKum Volume 2 Nomor 2 (Oktober 2015), 17
[2] Nur
Sania, “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, Jurnal At-Tijaroh Volume 1 Nomor 2 (
Juli-Desember 2015), 60.
[3] Arif Lutviansori, Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 27.
[4]
Aris Badaruddin Thoha, “Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dalam
Perspektif Islam”, Jurnal Ramadania Volume 2 Nomor 2 (Februari
2014), 4.
[12] Nahrowi, “Plagiat dan Pembajakan Karya Cipta dalam Hak Kekayaan
Intelektual”, Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum (Maret 2015), 231.
[19] Nur
Sania, “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, 72.
[20] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam (Jakarta:
PT Toko Gunung Agung, 1997), 212.
[21] Nur
Sania, “Hak Cipta di Era Modern (Perspektif Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Persoalan Kontemporer)”, 72.
[22] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, 212.
[27]Muhammad
Djakfar, Hukum Bisnis Membangun Wacana Integrasi Perundangan Nasional dengan
Syariah, (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 251-257








izin copy kak
BalasHapus