TINGKAH LAKU DALAM KAJIAN ILMU JIWA
DAKWAH
Makalah
ini dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“ Psikologi Dakwah ”
Dipresentasikan pada: Kamis, 29 Maret 2018
Disusun oleh :
1. Diva
Savitri (210315273)
2. Nilas
Sa'adah (210315277)
3. Rani Kurnia
Sutra (210315272)
KELAS PAI.H-KELOMPOK 2
Dosen pengampu
Sunartip, M.Sy.
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
PONOROGO
MARET
2018
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ........................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................... 1
BAB II :
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tingkah Laku ................................................................... 2
B.
Pengertian Ilmu Jiwa ............................................................................. 3
C.
Hakikat Ruh dan Kaitannya dengan Tingkah Laku ............ 5
BAB III :
KESIMPULAN
A. Kesimpulan .................................................................................................. 9
DAFTAR
PUSTAKA ......................................................................................................................... 10
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dakwah
merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk
mengajak orang lain sesuai dengan apa yang dianutnya. Dalam mengajak orang lain
ini, tentu saja da’i harus memahami terlebih dahulu siapa mad’u yang akan
diajak. Dalam memahami kondisi mad’u ini, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yaitu terkait dengan memahami tingkah laku serta kejiwaan dari
mad’u itu sendiri.
Berkaitan erat dengan kajian
psikologi dakwah maka psikologi dakwah tidak membahas keseluruhan aktivitas
jiwa, akan tetapi hanya memfokuskan diri pada gejala-gejala kejiwaan, yang
terlibat dalam proses dakwah. Sehingga, tujuan psikologi dakwah memberikan pandangan
tentang mungkinnya dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental
psikologis sasaran dakwah/penerangan agama sesuai pola kehidupan yang
dikehendaki oleh ajaran yang didakwahkan oleh aparat dakwah atau penerang agama
itu.[1]
Untuk mengetahui lebih jelas
terkait hal ini, penulis akan sedikit mengulasnya di dalam makalah ini dengan
tema Tingkah Laku dalam Kajian Ilmu Jiwa Dakwah.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pengertian dari tingkah laku?
2.
Bagaimana
pengertian dari ilmu jiwa?
3.
Bagaimana
hakikat ruh dan kaitannya dengan tingkah laku?
|
1
|
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tingkah
Laku
Tingkah laku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
tanggapan atau reaksi individu yang terwujud melalui gerakan (sikap); tidak
saja badan atau ucapan, atau lebih singkatnya, tingkah laku merupakan sebuah
perangai.[2]
Adapun tingkah laku menurut beberapa ahli, yaitu:
1.
Menurut Notoatmodjo, tingkah laku adalah tindakan atau
aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas
antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca
dan lain sebagainya.
2.
Skiner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa
tingkah laku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar).[3]
3.
Mahfud Shalahudin, tingkah laku
mempunyai arti konkret dari jiwa karena lebih konkret itu, maka tingkah laku
lebih mudah dipelajari daripada jiwa dan melalui tingkah laku pula kita akan
dapat mengenal seseorang. Termasuk dalam tingkah laku disini adalah
perbuatan-perbuatan yang terbuka (yaitu perbuatan yang dapat dilihat orang lain
seperti makan, minum, berbicara, dll) dan tingkah laku tertutup (yaitu jenis
perbuatan yang diketahui secara tidak langsung seperti melalui alat atau metode
khusus seperti berfikir, sedih, berkhayal, dll).
4.
|
2
|
5. Menurut Azis
Wahab, tingkah laku yaitu berupa perangai, akhlak dan watak, merupakan alat
batin dan panduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Tingkah laku dilihat dari kacamata agama atau pandangan Islam
akan nampak relevansinya dengan seruan untuk bertaqwa kepada Allah SWT, hal
tersebut relevan dengan fitrah manusia sebagai makhluk paling sempurna dibanding
dengan makhluk lainnya.[5]
6. Perkataan tingkah laku
mempunyai pengertian yang sangat luas, yaitu tidak hanya mencakup kegiatan
motorik saja seperti berbicara, berjalan, berlari, berolahraga, dll, akan
tetapi juga membahas melihat, mendengar, mengingat, berpikir, fantasi, atau
aktivitas lainnya.[6]
Dari
beberapa pengertian tingkah laku diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan tingkah laku adalah sebuah perangai (perilaku) seseorang yang
bukan hanya sesuatu yang dapat diamati saja (berbicara, berjalan, berlari,
berolahraga, dll), tetapi juga sampai pada sesuatu seperti melihat, mendengar,
mengingat, berpikir, fantasi, atau aktivitas lainnya. Dan tentu saja adanya
sebuah tingkah laku ini akibat adanya stimulus (rangsangan) yang mengenai suatu individu yang
bersangkutan.
B. Pengertian Ilmu
Jiwa
Jiwa secara harfiah berasal
dari bahasa sanskerta “Jiv” yang berarti “lembaga hidup” atau daya hidup. Oleh
karena itu merupakan pengertian yang abstrak tidak dapat dilihat dan belum bisa
diungkapkan secara lengkap dan jelas maka orang lebih cenderung mempelajari
“jiwa” yang memateri atau gejala jiwa yang meraga yaitu bentuk tingkah laku
manusia (segala aktivitas, perbuatan, penampilan diri) sepanjang hidupnya.[7]
Sedangkan secara
istilah ilmu jiwa adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala
dan aktifitas kejiwaan manusia.[8]
Menurut para ahli,
yang dimaksud dengan jiwa adalah:
1.
Menurut Robert Frager (Syekh Ragip al-Jerrahi) salah
satu istilah yang paling umum dalam psikologi sufi adalah nafs atau
diri. Istilah ini kadang diterjemahkan sebagai “ego” atau “jiwa”. Kebanyakan
penulis sufi menggunakan istilah nafs, mereka merujuk pada sifat-sifat
dan kecenderungan buruk kita. Pada tingkatnya yang rendah, nafs adalah
yang membawa kita kepada kesesatan. Kita kerap berjuang lebih keras untuk
menghindari perilaku-perilaku yang kita ketahui sebagai hal yang buruk dan
merusak.[9]
2.
Menurut
Aristoteles, jiwa adalah makna yang ditinggikan dari kejadian yang tunduk
kepada pengaturan, perkembangan dan pengujian. Ia merupakan subtansi yang
sederhana dan menyebar ke seluruh alam, seperti halnya binatang yang tercermin
dalam perbuatan dan pengaturannya, tidak boleh ada sifat banyak atau sedikit
yang menguasainya.[10]
3.
Menurut Ja’far bin
Harb, jiwa merupakan kefanaan dari kefanaan-kefanaan yang ada di dalam
badan ini. Jiwa merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah, yang dimintai
pertolongan oleh manusia untuk melakukan perbuatan, seperti sehat, selamat
dan lain-lainnya, yang tidak disifati dengan sifat apapun dari sifat subtansi
dan badan.[11]
4.
Menurut
Al-Ashm, jiwa merupakan badan ini dan bukan yang lain.
Dia menyebutkan yang demikian dengan maksud sebagai penjelasan dan penegasan
terhadap sesuatu, dan bukan sebagai makna yang selain badan.[12]
Dari beberapa
pengertian jiwa diatas, maka penulis dapat menyimpulkan yang dimaksud dengan
jiwa adalah sesuatu yang sifatnya immateri dan berada dalam badan seorang
makhluk (manusia). Jiwa ini merupakan sesuatu yang dapat menggerakkan individu
untuk dapat berbuat seperti sehat, selamat
dan lain-lainnya.
Dengan demikian, yang
dimaksud dengan ilmu jiwa adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang
gejala-gejala jiwa manusia (psikologi). Maka, jika dikaitkan dengan dakwah,
ilmu jiwa ini merupakan suatu ilmu yang dapat digunakan untuk memahami kondisi
jiwa (psikis) dari seorang mad’u, supaya seorang da’i mampu memberikan pesan
yang sesuai dengan kebutuhan mad’u, dan tujuan akhirnya adalah seorang mad’u
akan dapat menerima pesan sebagaimana yang disampaikan oleh seorang da'i.
C.
Hakikat
Ruh dan Kaitannya dengan Tingkah Laku
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu
tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah
kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Israa’: 85)
Hakikat ruh dalam tafsir
An-Nur Juz 5 karya Hasby Ash Shiddqy terdapat beberapa pendapat, yaitu :
1.
Menurut
Al-Rozy dan Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Ruh, ruh itu adalah satu jism nurani
(berupa cahaya) yang hidup, yang bergerak dari alam tinggi yang tabiatnya
menyalahi tabiat tubuh yang dapat dilihat dan dipegang. Dia berjalan di dalam
tubuh, sebagai air mengalir di dalam bunga mawar dan sebagai minyak berjalan di
dalam zaitun dan sebagai api berjalan di arang. Dia memberi hidup pada tubuh
yang kasar.
2.
Al-Ghazali
dan Abu Qasim ar-Raghib al Alfahany berpendapat, bahwa ruh itu bukan tubuh dan
tidak pula bersifat tubuh. Dia bergantung dengan badan hanyalah di dalam
mengurusi dan menyelesaikan segala kepentingan tubuh.[13]
Selain itu, menurut
Imam Al Ghazali, ruh itu berupa daya manusia untuk mengenal dirinya, mengenal
Tuhannya, kemampuan mempelajari ilmu pengetahuan, kepribadiannya, akhlaknya,
dan sebagai penggerak dalam aktivitas ibadah kepada Tuhan.[14]
Para ulama mengenai ruh yang
terdapat dalam ayat diatas (Q.S. Al-Israa’: 85) mempunyai tiga pendapat :
1. Ada yang berkata bahwa yang
dikehendaki dengan ruh dalam ayat diatas adalah Al-Qur’an. Memang beberapa kali
Allah memakai perkataan ruh dengan arti Al-Qur’an. Dan dinamai Al-Qur’an dengan
ruh adalah karena dengan dialah hidup jiwa dan akal.
2. Al-Hasan dan Qatadah
berpendapat bahwa yang dikehendaki dengan ruh dalam ayat ini adalah Jibril. Dan
memang Allah telah menamai Jibril pada beberapa tempat Al-Quran dengan ruh.
3. Jumhur berpendapat dari Ibnu
Mas’ud menyatakan bahwa yang dikehendaki dengan ruh adalah yang menjadi tiang
tonggak hidup jasad ini.[15]
4. Al-Jaba’y, berpendapat bahwa
roh merupakan fisik dan ia bukan kehidupan ini, yang kehidupan ini merupakan
kefanaan. Dia beralasan dengan para ahli bahasa yang kajiannya
keluar dari roh manusia dan dia beranggapan bahwa roh itu terlepas dari
kefanaan.[16]
Sehingga dapatlah disimpulkan
bahwa hanya Dia (Allah) sendirilah yang mengetahui hakikat ruh. Ilmu manusia
tidak sampai kepada mengetahuinya. Ruh merupakan sesuatu yang bersifat abstrak.
Apalagi kalau dikaitkan dengan Asbabun Nuzul ayat diatas, jelaslah bahwa
orang-orang Yahudi (yang memiliki kelebihan akal), tetapi juga dikenal sebagai
pembangkang terbesar, sehingga mereka tidak akan begitu saja memercayai apa-apa
yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad, karena sesuatu yang bersifat “Supranatural”
(gaib) tidak mungkin didekati dengan pendekatan rasio. Sehingga dalam Asbabun Nuzul
diatas, dijelaskan bahwa malaikat Jibril yang membawa wahyu Allah swt. kepada
Nabi Muhammad dianggap sebagai musuhnya.[17]
Jelaslah bahwa mengenai ruh,
Allah telah memberi suatu batasan, bahwa ruh merupakan urusan Allah dan manusia
tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit. Maka, dalam kajian ini, “tingkah laku
dalam ilmu jiwa dakwah” tidak dikaji hakikat ruh, tetapi ruh yang memateri atau
refleksi dari ruh itu dalam bentuk tingkah laku, yang dapat dikaji dengan
pendekatan empiris. Sebab manusia pada hakikatnya terdiri dari 2 aspek, yakni
aspek rohani (ruh masuk di dalamnya), dan aspek jasmani.[18]
Berkaitan erat dengan kajian
psikologi dakwah maka psikologi dakwah tidak membahas keseluruhan aktivitas
jiwa, akan tetapi hanya memfokuskan diri pada gejala-gejala kejiwaan (refleksi
dari ruh yang bersifat abstrak tadi) yang terlibat dalam proses dakwah.
Sehingga, tujuan psikologi dakwah memberikan pandangan tentang mungkinnya
dilakukan perubahan tingkah laku atau sikap mental psikologis sasaran dakwah/penerangan
agama sesuai pola (Pattern) kehidupan yang dikehendaki oleh ajaran yang
didakwahkan oleh aparat dakwah atau penerang agama itu.[19]
Dengan memeperhatikan
faktor-faktor perkembangan psikologis beserta ciri-cirinya maka massage
(pesan) dakwah yang disampaikan oleh juru dakwah akan dapat meresap dan
diterima dalam pribadi sasarannya, dan kemudian diamalkan dengan suka rela
tanpa ada perasaan dipaksa, karena hal tersebut dapat menyentuh dan memuaskan
kehidupan rohaninya. Disinilah terletak titik berat strategi dakwah yang
sebenarnya, yaitu menerima massage dakwah dengan ikhlas dan sekaligus
mempraktikkan dalam kehidupan nyata.[20]
Dari penjelasan diatas dapat
disimpulkan, bahwa ruh ini merupakan sesuatu yang mengalir dalam tubuh dan sifat
ruh itu berupa
daya manusia untuk mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, kemampuan mempelajari
ilmu pengetahuan, kepribadiannya, akhlaknya, dan sebagai penggerak dalam
aktivitas ibadah kepada Tuhan. Dengan demikian, ruh ini memiliki keterkaitan
dengan tingkah laku, karena ruh ini merupakan penggerak manusia untuk melakukan
suatu aktivitas atau tingkah laku tertentu.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, maka
dapat ditarik kesimpulan:
1. Tingkah laku adalah
sebuah perangai (perilaku) seseorang yang bukan hanya sesuatu yang dapat
diamati saja (berbicara, berjalan, berlari, berolahraga, dll), tetapi juga
sampai pada sesuatu seperti melihat, mendengar, mengingat, berpikir, fantasi,
atau aktivitas lainnya. Dan tentu saja adanya sebuah tingkah laku ini akibat
adanya stimulus (rangsangan) yang
mengenai suatu individu yang bersangkutan.
2. Ilmu jiwa adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia (psikologi). Maka, jika
dikaitkan dengan dakwah, ilmu jiwa ini merupakan suatu ilmu yang dapat
digunakan untuk memahami kondisi jiwa (psikis) dari seorang mad’u, supaya
seorang da’i mampu memberikan pesan yang sesuai dengan kebutuhan mad’u, dan
tujuan akhirnya adalah seorang mad’u akan dapat menerima pesan sebagaimana yang
disampaikan oleh seorang da'i.
3. Hakikat ruh
dan kaitannya dengan tingkah laku. Ruh merupakan sesuatu yang mengalir dalam tubuh
dan sifat ruh itu
berupa daya manusia untuk mengenal dirinya, mengenal Tuhannya, kemampuan
mempelajari ilmu pengetahuan, kepribadiannya, akhlaknya, dan sebagai penggerak
dalam aktivitas ibadah kepada Tuhan. Dengan demikian, ruh ini memiliki
keterkaitan dengan tingkah laku, karena ruh ini merupakan penggerak bagi
manusia untuk melakukan suatu aktivitas atau tingkah laku tertentu.
|
9
|
DAFTAR
PUSTAKA
Aida,
Witin. “Pengaruh Hasil Belajar Akidah Akhlak Terhadap Tingkah Laku Siswa Kelas
II Madrasah Ibtidaiyah Asy Syairiyah Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang Tahun
Pelajaran 2010/2011.” PhD Thesis, IAIN Walisongo, 2012.
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Roh.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Aminuddin dkk. Membangun Karakter dan Kepribadian Melalui
Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Apriliana. “Hubungan Tasawuf
Dengan Ilmu Jiwa Agama.” Ihya’al’Arabiyah 3, no. 1 (2017).
Frager, Robert. Psikologi Sufi
untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh. Jakarta: Zaman, 2014.
Jumantoro, Totok. Psikologi Dakwah Dengan
Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani. Jakarta: Amzah, 2001.
Khaedir, Muh, dan Sangkala
Ibsik. “Implementasi Program Makassar Tidak Rantasa (MTR) di Kecamatan Tamalate
Kota Makassar.” Jurnal Tomalebbi 3, no. 3 (2016): 89–97.
Sutrisno. “Peran Pendidikan
Sanggar Alang-Alang Dalam Pembentukan Tingkah Laku Anak Jalanan di Wonokromo
Surabaya.” PhD Thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2009.
Tim Penyusun. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
[1] Totok Jumantoro, Psikologi Dakwah Dengan
Aspek-aspek Kejiwaan yang Qur’ani (Jakarta: Amzah, 2001), 27-28.
[2] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1528.
[3] Witin
Aida, “Pengaruh Hasil Belajar Akidah Akhlak Terhadap Tingkah Laku Siswa Kelas
II Madrasah Ibtidaiyah Asy Syairiyah Plumbon Kec. Limpung Kab. Batang Tahun
Pelajaran 2010/2011” (IAIN Walisongo, 2012). hlm. 17.
[4] Sutrisno,
“Peran Pendidikan Sanggar Alang-Alang Dalam Pembentukan Tingkah Laku Anak
Jalanan di Wonokromo Surabaya” (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2009). hlm. 29.
[5] Muh
Khaedir dan Sangkala Ibsik, “Implementasi Program Makassar Tidak Rantasa (MTR)
di Kecamatan Tamalate Kota Makassar,” Jurnal Tomalebbi 3, no. 3 (2016):
89–97.
hlm. 92.
[6] Jumantoro, Psikologi Dakwah, 27.
[8] Apriliana,
“Hubungan Tasawuf Dengan Ilmu Jiwa Agama,” Ihya’al’Arabiyah 3, no. 1
(2017).
hlm. 123.
[9] Robert Frager, Psikologi Sufi untuk Transformasi
Hati, Jiwa, dan Ruh (Jakarta: Zaman, 2014), 98.
[14] Aminuddin
dkk, Membangun Karakter dan Kepribadian
Melalui Pendidikan Agama Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), 25.
[17]
Jumantoro, Psikologi Dakwah, 25.
[18] Ibid.
[19] Ibid., 27-28.
[20] Ibid., 28.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar