Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah
“masail fiqhiyyah”

Disusun oleh :
April Hadiansyah 210315266
Miftakul huda 210315282
KELAS PAI.H
Dosen pengampu:
Ibnu Muchlis, M.Hum
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
![]() |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di masa lampau, wanita masih dangat terikat dengan nilai-nilai
tradisional yang mengakar di tengah-tengah masyarakat. Sehinngga jika da wanita
yang berkarir untuk mengembangkan keahlianya di luar rumah, maka mereka
dianggap telah melanggar tradisi
sehingga mereka dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan lingkunganya. Dengan
demikian mereka kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri di
tengah-tengah masyarakat.
Seiring dengan berubahnya cara pandang masyarakat terhadap peran
dan posisi kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat, maka kini sudah banyak
kaum perempuan yang berkarir, baik di kantor perempuan maupu swasta bahkan ada
yang berkarir di kemiliteran dan kepolisian.
Namun masalahnya kemudian, bagaimana pandangan Islam terhadap
keterlibatan perempuan diberbagai sektor di luar rumah, sedangkan perempuan
mempunyai tuagas utama sebagai rumah tangga. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka lebih jelasnya dalam makalah ini akan membahas tentang wanita karir dan
kepemimpinanya, penulis akan mengulasnya dalam makalah ini, dengan harapan
melalui tulisan sederhana ini mampu membantu berbagai pihak yang membacanya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengerian wanita karir?
2.
Bagaimana kepemimpinan wanita dalam rumah tangga?
3.
Bagaimana kepemimpinan wanita dalam masyarakat
menurut islam?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
wanita karir
Berikut ini adalah pengertian dari wanita karir dari berbagai
sumber yaitu seorang wanita yang menjadikan karir atau pekerjaanya secara
serius perempuan yang memiliki karir atau yang menganggap kehidupan kerjanya
secara serius (mengalahkan sisi kehidupan yang lain), ataupun bisa disebut
dengan wanita yang mampu mengelola hidupnya secara menyenangkan atau memuaskan
baik dalam kehidupan propesional (pekerjaan di kantor) maupun di dalam membina
rumah tangganya.[1]
Menurut Imam Asy-Syar’wi Rahimahullah ditanya tentang
perempuan (seorang istri) yang keluar rumah untuk bekerja. Apakah Islam
membolehkanya untuk meninggalkan rumah dan anak-anaknya bekerja di luar rumah
ia menjawab dengan mengatakan bahwa perempuan ketika keluar rumah untuk
bekerja, maka saat dia kembali ia berada dalam kondisi lelah sementara
anak-anaknya terabaikan dari pengawasan orang tuanya, sehingga sang istripun
merasakan berbagai tekanan yang menyusahkanya seperti perasaan asing, tidak
sejalan dengan suami dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendidik
anak-anaknya dan menjukkan kasih sayang kepada mereka.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Islam melarang perempuan
untuk bekerja akan tetapi Islam meletakkan dasar-dasar yang di atasnya
kehidupan masyarakat muslim dijalankan dengan penuh keharmonisan dan
ketenangan.
Apabila seorang perempuan terpaksa menjadi tulang punggung
keluarganya atau karena sebab-sebab tertentu mengharuskan dirinya bekerja di
smping suaminya yang bekerja, maka dia harus mengetahui bahwa hal itu meski
pada awalnya banya memberikan manfaat mengaruskan mereka untuk membayar
harganya, yaitu dengan berkurangnya kenyamanan dan ketenangan keluarganya.[2]
Pada dasamya Islam
tidak membedakan antara pekerjaan
atau amal shalih yang
dilakukan oleh laki-laki
dan wanita, asalkan dilandasi
oleh iman dan taqwa
kepada Allah SWT,
maka keduanya akan mendapatkan
balasan dari apa
yang mereka kerjakan. Bahkan
al-Qur'an mengisyaratkan pada mereka
yang bekerja itu akan mendapatkan
kehidupan yang baik dan berkualitas, hayafan
thayyihah. Sebagaimana
firman Allah dalam
surat An-Nahl/16 ayat 97: "Barang
siapa yang mengerjakan amal shaleh.Baik
laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik."
Kalau dikaji pada
permulaan Islam berkaitan
dengan ketedibatan wanita
dalam pekerjaan, maka tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa
Islam membenarkah kaum wanita
beraktivitas atau bekerja
di luar rumah dalam berbagai bidang,
baik secara mandiri atau bersama
orang lain.[3]
2.
Konsep
kepemimpinan wanita dalam rumah tangga
Dari aspek manapun, posisi perempuan belum pernah sampai pada
posisi yang setara apalagi melebihi posisi laki-laki. Rumusan undang-undang
yang pernah berlaku dalam sejarah manusia, tatanan masyarakat dari primitif
sampai modern, tradisi, budaya, bahkan agama, pada umumnya menempatkan perempuan pada tingkat yang lebih rendah dari
pada laki-laki. Tidak dipungkiri bahwa pada kasus-kasus tertentu ada segelintir
perempuan yang tampil melebihi laki-laki, akan tetapi secara kuantitatif,
jumlahnya tidak mungkin sampai pada tingkat yang layak dijadikan sampel.
Apalagi, tampilnya mereka selalu disertai dengan kontroversi atau anggapan yang
mengisya-ratkannya sebagai hal yang bertentangan dengan ketentuan umum yang
dianut masyarakat. Hal yang terakhir ini mengisyaratkan bahwa secara
konseptual, kesetaraan laki-laki dan perempuan belum pernah disepakati dan
diakui.
Dalam tradisi
ketimuran pra-Islam misalnya, perempuan
diserupakan dengan binatang buas, kotor dan berbahaya. Mereka dianggap makhluk
yang dapat mengancam kedamaian manusia
setiap saat. Dalam bukunya yang berjudul
Sahnameh, al-Firdausi mengata-kan bahwa lebih baik membenamkan perempuan
dan naga dalam perut bumi, karena dunia akan menjadi lebih baik andaikata
tersucikan dari keberadaan mereka.
Dalam peradaban Cina kuno, perempuan harus tunduk kepada laki-laki.
Mereka harus tunduk kepada ayah sebelum menikah dan kepada suaminya setelah
menikah. Mereka lazim disebut dengan
fucong, artinya ketundukan dan kepasrahan penuh seorang isteri kepada
suaminya, termasuk dalam masalah seksualitas. Dalam tradisi India, posisi perempuan juga tidak menggembirakan.
Bagi mereka, suami adalah wakil Dewa di bumi. Ini meniscayakan perempuan pasrah
dan tunduk sepenuhnya pada suami. Ia harus bersimpuh di kaki suaminya ketika
tertidur dan siap melayani kebutuhanya.[4]
Didalam surah An-Nisa ayat 34 berisi tentang sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh seorang perempuan yang diberi anugrah hak kepemimpinan,
disebabkan oleh anugrah yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan,
pendidikan ataupun kadar intlektual. Sifat tersebut adalah patuh dan menjaga
aib suami. Apabila memiliki sifa-sifat demikian maka ia pantas untuk meimpin.
Akan tetapi bagaimana jika ia tidak memiliki sifat tersebut maka ia telah
keluar dari garis kelayakan sebagai pemimpin.[5]
Seandainya kita membeikan kaum perempuan pekerjaan di rumah,
berarti kita telah memberian beban di luar kemampuanya karena ia telah bertugas
untuk menyelesaikan tugas di dalam dan luar rumah sekaligus ia tidak akan
memiliki wktu untuk menyiapkan makanan untuk suami dan anak-anaknya. Tidak
jarang kita meliht kaum perempuan yang berkarir di luar rumah menyiapkan
kebutuhan rumah di tempat kerjanya. Mereka sebenarnya sibuk dengan karirnya,
akan tetapi tugas rumah juga menantinya untuk menyediakan makanan, mendidik
anak-anak dan sebagainya.
Salah satu dari perempuan tersebut terkadang terlihat sangat lelah
sepulangnya dari kantor. Akan tetapi, sesampainya di rumah ia harus memasak dan
memecahkan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh putra- putrinya
ketika ia berada di luar rumah. Setelah selesai dengan anak-anaknya kini
giliran suaminya datang dan meminta haknya, akan tetapi seorang istri akan
terlihat sangat lelah.[6]
3.
Konsep
kepemimpinan wanita dalam masyarakat menurut islam
Sebagaimana dimaklumi bahwa
kedudukan perempuan dalam masyarakat
Islam merupakan cermin
eksisitensi Islam. Bilamana masyarakat
Islam berjaya, maka
kedudukan kaum wanitanya pun
akan ikut berjaya. Sebaliknya, jika
Islam dalam masyarakat itu
terancam dan berada di bawah tekanan, maka kondisi kehidupan kaum
perempuannya pun mengalami
hal demikian. Dalam beberapa
aspek penting, perempuan
ideal muslim sama dengan kaum prianya. Mereka sederhana,
saleh, dan menyayangi keluarga.
Sebagaimana telah disinggung,
Islam memberikan sejumlah hak
bagi kaum perempuan
yang semula terkebiri
pada masa pra Islam, antara lain untuk memperoleh pendidikan, untuk
menerima warisan (yang semula hanya dijadikan objek warisan), dan hak
untuk menceraikan suami
(melalui cara khulu’)
atau yang dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia pihak perempuan
diberikan hak untuk mengajukan gugat cerai.
Persamaan, kedudukan perempuan, dan hak-hak kelompok lemah merupakan
isu terpenting di
dunia kontemporer. Pesan yang
disampaikan Nabi Muhammad
saw., yakni semua
orang muslim memiliki dearajat
yang sama, ibarat
“Gigi sisir yang sama besarnya”. Islam tidak mengenal
perbedaan garis keturunan dan
kasta. Islam tidak
mengenal baduisme. Islam menyerukan keadilan, perbuatan
baik, toleransi, moralitas
yang baik dan melarang
ketidakadilan, perampokan, kebebasan
seks, dan perbuatan terlarang
lainnya.
Di samping hak-hak yang telah diberikan kepada perempuan tadi, hal
yang tidak boleh terlupakan adalah seorang perempuan mempunyai peran
penting dalam mempengaruhi
keputusan-keputusan atau kebijakan
publik masyarakat Islam.
Diantara mereka adalah
Khadijah, Fathimah, Aisyah,
dan lain-lainnya. Mereka
dipandang sebagai perempuan yang mempunyai kapasitas tertentu dan
ideal. Pendapat dan pemikirannya sejajar
dengan pendapat dan pemikiran
kaum laki-laki. Mereka
mempunyai kedudukan penting dalam masa awal perkembangan Islam. Banyak
peran yang dimainkan
kaum perempuan dalam
merubah cara pandang yang
menempatkan perempuan pada
posisi subordinat. Contoh yang
paling kentara adalah
jawaban Nabi Muhammad saw. terhadap pertanyaan
yang menyangkut “Bagaimana
cara seseorang untuk mencapai surga”, merupakan komentar langsung tentang peran
kaum perempuan dalam masyarakat
dan ideologi Islam. “Surga
berada di bawah telapak
kaki ibu”, demikian jawaban pertama, kedua, ketiga, yang
diberikan oleh Nabi. Pada jawaban
keempat barulah Nabi
mengatakan, “Surga berada
di bawah telapak kaki ayah”. Kenyataan menunjukkan bahwa orang yang memeluk
Islam pertama kali
adalah Khadijah. Ia
adalah sosok isteri Nabi
ideal yang mempunyai
peranan penting atas perkembangan Islam. Kiprahnya tidak
diragukan lagi. Hampir seluruh tindakan yang dilakukan oleh
Nabi saw. Terlebih dahulu dikonsultasaikan dengannya. Ia berdiri kokoh ibarat
batu gunung yang berada disamping
Nabi saw., suaminya,
pada masa awal perjuangan Islam
fase Makkah. Selain
Khadijah, Fatimah, putri Nabi juga memegang peran penting pada masa
itu.
Tidak hanya itu, peran publik dan kepemimpinan perempuan dapat
dilihat dalam beberapa ketegori sosio-historis dalam lintasan sejarah Islam.[7]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pengertian
wanita karir
Berikut
ini adalah pengertian dari wanita karir dari berbagai sumber yaitu seorang
wanita yang menjadikan karir atau pekerjaanya secara serius perempuan yang
memiliki karir atau yang menganggap kehidupan kerjanya secara serius
(mengalahkan sisi kehidupan yang lain), ataupun bisa disebut dengan wanita yang
mampu mengelola hidupnya secara menyenangkan atau memuaskan baik dalam
kehidupan propesional (pekerjaan di kantor) maupun di dalam membina rumah
tangganya
2.
Konsep
kepemimpinan wanita dalam rumah tangga
Didalam
surah An-Nisa ayat 34 berisi tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seorang perempuan yang diberi anugrah hak kepemimpinan, disebabkan oleh anugrah
yang telah diberikan Allah kepadanya berupa kekayaan, pendidikan ataupun kadar
intlektual. Sifat tersebut adalah patuh dan menjaga aib suami. Apabila memiliki
sifa-sifat demikian maka ia pantas untuk meimpin. Akan tetapi bagaimana jika ia
tidak memiliki sifat tersebut maka ia telah keluar dari garis kelayakan sebagai
pemimpin.
3.
Konsep
kepemimpinan wanita dalam masyarakat menurut islam
Pesan
yang disampaikan Nabi
Muhammad saw., yakni
semua orang muslim memiliki
dearajat yang sama,
ibarat “Gigi sisir
yang sama besarnya”. Islam tidak mengenal perbedaan garis keturunan
dan kasta. Islam
tidak mengenal baduisme. Islam menyerukan keadilan, perbuatan
baik, toleransi, moralitas
yang baik dan melarang
ketidakadilan, perampokan, kebebasan
seks, dan perbuatan terlarang
lainnya. Di samping hak-hak yang telah diberikan kepada perempuan tadi, hal
yang tidak boleh terlupakan adalah seorang perempuan mempunyai peran
penting dalam mempengaruhi
keputusan-keputusan atau kebijakan
publik masyarakat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Shahrur Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Yogyakarta:eLSAQ Press,2010
Mutawalli Asy-Sya’rawi Muhammad, Suami Istri Berkarakter
Surgawi, Jakarta: Pustaka Al-kautsar,2013
Ibrahim Sulaiman, Hukum
Domestikasi dan Kepemimpinan Perempuan Dalam Keluarga,Al-Ulum, vol. 13,
no.2, Desember 2013
Mutohar Ahmad, Wanita
Karir Perspektif Islam, FENOMENA,vol.13,no.2, Oktober 2014
As-Sya’rawi Mutawalli,Fiqih
Perempuan Jakarta:AMZAH, 2009.
Haris Munawir, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, jurnal
studi keislaman, vol.15, no.1, juni 2015









Tidak ada komentar:
Posting Komentar