|
|
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“MASAIL
FIQHIYAH”
Disusun oleh : Kelompok 6 PAI.H
1.
Afidhatul
Imaniah NIM.
210315261
2.
Muhammad Zidna
Yaqina NIM. 210315286
3.
Nilas Sa’adah NIM. 210315277
Dosen Pengampu
Ibnu Muchlis, M.Hum.
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
APRIL 2018
|
|
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sampai saat ini, kondisi ekonomi warga Indonesia masih sangat
memprihatinkan atau tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya
pengangguran tetapi lowongan kerjanya sedikit, dan kemiskinan pun juga semakin
bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seseorang pasti akan berusaha
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Entah itu bekerja, berdagang, bisnis,
ataupun yang lain. Salah satunya yaitu dengan menggadaikan barang ke pegadaian.
Di era sekarang banyak sekali lembaga-lembaga pegadaian di
Indonesia, malah semakin bertambah karena banyak orang yang menggunakan
pegadaian. Karena tujuan dari gadai yaitu untuk mengatasi permasalahan keuangan
yang ada dalam masyarakat dan saling tolong menolong, serta saling mengerti
antar sesama.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas tentang gadai,
meliputi pengertian, tujuan, pemanfaatan, rukun, syarat sah dan pandangan hukum
Islam terhadap gadai.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.
Apa yang
dimaksud dengan rahn?
2.
Apa saja tujuan
dan pemanfaatan barang gadai?
3.
Apa saja rukun
dan syarat sah rahn?
4.
Bagaimana
pandangan hukum Islam terhadap rahn?
|
1
|
|
|
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Rahn
Ar-rahn (gadai)
menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan
penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau
terjerat, tetap kekal dan jaminan.[1]
Menurut istilah syara’ ar-rahn terdapat beberapa pengertian
di antaranya:
1.
Gadai adalah perjanjian
(akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[2]
2.
Gadai adalah
suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang
piutang.
3.
Akad yang
obyeknya menahan harga terdapat sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran
dengan sempurna darinya.[3]
Gadai (rahn) menurut Jumhur Ulama:
1.
Ulama
Syafi’iyah
Rahn adalah
menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari
harganya, bila berutang tidak sanggup membayar utang.
2.
Ulama Hanabilah
Rahn adalah suatu
benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuh dari harganya, bila
yang berharga tidak sanggup membayar utangnya.
3.
Ulama Malikiyah
Rahn adalah sesuatu
yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk
dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
|
2
|
4.
Ulama Hanafiyah
Rahn adalah
menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin
dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun
sebagian.[4]
B.
Tujuan dan
Pemanfaatan Barang Gadai
1.
Tujuan Gadai
a.
Untuk mengatasi
agar masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas
uang atau tukang rentenir yang bunganya relatif tinggi.[5]
b.
Untuk tujuan
pencegahan, terutama ketika seseorang menemukan situasi yang tidak terduga seperti
kematian dan kecelakaan dimana mereka membutuhkan uang tunai yang cepat dan
untuk memenuhi kebutuhan transaksi seseorang.[6]
c.
Untuk saling
tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan.
d.
Untuk
menghindarkan terjadinya penghisapan manusia oleh manusia dengan istilah lain
disebut lintah darat. Juga menghilangkan kebiasaan perilaku riba yang
diharamkan dalam syariat Islam yang telah merajalela di masyarakat.[7]
2.
Pemanfaatan
Barang Gadai
a.
Manfaat Rahn
Manfaat
yang dapat diambil oleh bank adalah sebagai berikut:
1) Menjaga
kemungkian nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan
yang diberikan bank.
2) Memberi
keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan
hilang begitu saja bila nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset
barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3) Jika
rahn diterapkan dengan mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan
sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.[8]
b.
Pemanfaatan
Barang Gadai
1)
Pemanfaatan rahin
atas borg (barang yang digadaikan)
a)
Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murthahin,
begitu pula murthahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin.
Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
b)
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa jika borg sudah berada di tangan murthahin, rahin
mempunyai hak memanfaatkan.
c)
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang
jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti
mengendarainya, menempatinya, dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan
barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahn harus meminta izin pada murthahin.
2)
Pemanfaatan murthahin
atas borg
a)
Ulama Hanafiah
berpendapat bahwa murthahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab ia
hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.[9]
b)
Ulama Malikiyah
membolehkan murthahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin
atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat
diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
c)
Pendapat ulama
Hanabilah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa
hewan, murthahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil
susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin.
Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.[10]
Perlu dicatat, bahwa kebanyakan ulama tidak memperbolehkan
penggadai memanfaatkan barang gadai, sekalipun pemiliknya mengizinkan, sebab
termasuk riba yang dilarang oleh Islam berdasarkan Hadis Nabi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
فَهُوَرِبًا.
Artinya:
“Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba”. (H.R. Al-Harits dari
Ali).
Tetapi menurut ulama Hanafi, penggadai boleh memanfaatkan barang
gadai atas izin pemiliknya, sebab pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada
siapa saja yang dikehendaki termasuk penggadai untuk mengambil manfaat
barangnya. Dan itu bukan riba, karena pemanfaatan barang gadai itu ditarik atau
diperoleh melalui izin, bukan ditarik oleh pinjaman.
Mahmud Syaltut dapat menyetujui pendapat ulama Hanafi tersebut
dengan catatan: izin pemilik itu bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar
tulus ikhlas berdasarkan mutual understanding dan mutual help
(saling mengerti dan saling menolong).[11]
C.
Rukun dan
Syarat Sah Rahn
1.
Rukun Rahn
Dalam menjalankan pegadaian harus memenuhi rukun gadai. Rukun gadai
tersebut diantaranya:
a.
Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki
barang yang digadaikan.
b.
Al-Murthahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk
mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
c.
Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam
mendapatkan utang.
d.
Al-Marhun Bih (Utang)
Sejumlah dana yang diberikan murthahin kepada rahin
atas dasar besarnya tafsiran marhun.
e.
Shighat, Ijab, dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murthahin dalam
melakukan transaksi gadai. Pada dasarnya pegadaian berjalan di atas dua akad transaksi,
yaitu:
1)
Akad Rahn.
Yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian
menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2)
Akad Ijarah.
Yaitu pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.[12]
2.
Syarat Sah Rahn
a.
Rahin dan Murthahin
Rahin dan murthahin
harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan
juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan. Syarat
yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum (baligh dan
berakal).
b.
Syarat Sighat
(Lafadz)
1)
Ulama Hanafiyah
mengatakan dalam akad tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu dengan masa
yang akan datang, karena akad rahn itu sama dengan akad jual beli.
Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih
telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu
diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun boleh murthahin
manfaatkan.
2)
Ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah
syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun
apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya
batal.
Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak
sesuai dengan tabiat rahn, karena syarat itu dinyatakan batal. Syarat
yang dibolehkan itu, misalnya untuk sahnya rahn itu, pihak murthahin
minta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal,
misalnya disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu
jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.[13]
c.
Marhun Bih (Utang)
1)
Harus merupakan
hak wajib yang diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya (murthahin).
2)
Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu.
3)
Marhun bih itu jelas atau tetap dan tertentu.
4)
Memungkinkan
pemanfaatan.
5)
Harus
dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
d.
Marhun (benda jaminan gadai)
1)
Harus bisa
diperjualbelikan.
2)
Harus berupa
harta yang bernilai.
3)
Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
4)
Harus diketahui
keadaan fisiknya.
5)
Harus dimiliki
oleh rahin.
6)
Marhun tidak terkait dengan hak orang lain.
7)
Marhun merupakan harta yang utuh.
Abu Bakr Jabir Al-Jaziri dalam buku “Minhajul Muslim”
menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh
digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak.
Karena penjualan tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak tersebut
haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena di
dalamnya tidak memuat unsur gharar bagi murthahin. Dinyatakan
tidak mengandung unsur gharar karena piutang murthahin tetap ada
kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.[15]
Apabila barang gadai hilang
di tangan murthahin, ia tidaklah wajib menggantinya, kecuali kalau
disia-siakan, umpamanya ia bermain-main dengan api, lalu barang gadaian
terbakar atau ia tidak mengunci gudang sehingga barang itu hilang, dan
lain-lain. Hal ini karena murthahin merupakan orang yang dipercaya oleh rahin
(orang yang menggadai).[16]
D.
Pandangan Hukum
Islam
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam, diatur dalam
Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad.
1.
Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai
adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 283).
2.
As-Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ
يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ. (رواه البخارى و
مسلم)
Artinya:
“Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW. pernah membeli makanan dengan berhutang
dari seorang Yahudi dan menggadaikan kepadanya baju besi”. (H.R. Bukhari
dan Muslim).
Dari
Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: “Tidak terlepas kepemilikan barang
gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung
risikonya”. (H.R. Asy’Syafii, al Daraquthni, dan Ibnu Majah).[17]
Nabi
bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya
dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu
wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (H.R. Jamaah, kecuali
Muslim dan An-Nasai).
Dari
Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: “Apabila ada ternak digadaikan, maka
punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah
mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air
susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka
ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya”. (H.R. Jamaah kecuali Muslim
dan Nasai-Bukhari).
3.
Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga
berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini.
Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian (berada
di tempat domisilinya) maupun pada waktu bepergian, berargumentasi kepada
perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut
di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalanan seperti ditentukan dalam Q.S. Al-Baqarah:
283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada
waktu bepergian. Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahiri berpendapat bahwa rahn
tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi.
Pernyataan mereka telah terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.[18] Ayat tadi yang mengaitkan gadai dengan bepergian itu tidak
dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai, melainkan hanya menunjukkan bahwa
gadai itu pada umumnya dilakukan pada waktu sedang bepergian (pada waktu itu).[19]
|
|
KESIMPULAN
1. Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan
barang sebagai tanggungan utang.
2. a. Tujuan gadai: 1) Mengatasi agar masyarakat yang sedang
membutuhkan uang tidak jatuh ke rentenir. 2) Tujuan pencegahan. 3) Saling
tolong-menolong. 4) Menghindarkan terjadinya penghisapan manusia oleh manusia
lain dan menghilangkan kebiasaan perilaku riba.
b. Pemanfaatan barang gadai:
1)
Pemanfaatan rahin
atas borg: a) Ulama Hanafiah: rahin tidak boleh memanfaatkan
barang tanpa seizin murthahin, begitu pula murthahin tidak boleh
memanfaatkannya tanpa seizin rahin. b) Ulama Malikiyah: jika borg sudah
berada di tangan murthahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan. c) Ulama
Syafi’iyah: rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak
menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin. Akan tetapi jika
menyebabkan barang berkurang, rahn harus meminta izin pada murthahin.
2)
Pemanfaatan murthahin
atas borg: a) Ulama Hanafiah: murthahin tidak boleh memanfaatkan borg
sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. b) Ulama
Malikiyah membolehkan murthahin memanfaatkan borg jika diizinkan
oleh rahin. c) Ulama Hanabilah: jika berupa hewan, boleh memanfaatkan.
Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
3. a. Rukun rahn: 1) Ar-Rahin (yang
menggadaikan). 2) Al-Murthahin (yang menerima gadai). 3) Al-Marhun/rahn
(barang yang digadaikan). 4) Al-Marhun Bih (Utang). 5) Shighat,
Ijab, dan Qabul.
|
11
|
4.
a. Al-Qur’an:
Q.S. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
b.
As-Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ
إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya:
“Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW. pernah membeli makanan dengan berhutang
dari seorang Yahudi dan menggadaikan kepadanya baju besi”. (H.R. Bukhari
dan Muslim).
c. Ijtihad: jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak
pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa
disyariatkan pada waktu tidak bepergian (berada di tempat domisilinya) maupun
pada waktu bepergian.
|
|
Adjie, Habib
dan Emmy Haryono Saputro. “Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Objek Gadai Atas
Pelelangan Objek Gadai.” Jurnal Hukum Bisnis 1, no. 1 (April 2015).
Anshori, Abdul
Ghofur. Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Ermawati,
Titin. “Peluang dan Tantangan Gadai Emas (Rahn) di Indonesia: Sebuah
Tinjauan Konseptual.” (Universitas Negeri Surabaya).
Jajuli, M.
Sulaeman. “Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Hukum Islam di Kabupaten Bogor.” Jurnal
Ahkam XV, no. 2 (Juli 2015).
Mardani. Hukum
Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Mas’ud, Ibnu. Fiqih
Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandung:
Pustaka Setia, 2007.
Sutedi, Adrian.
Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta, 2011.
Zuhdi, Masjfuk.
Masail Fiqhiyah. Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.
[1] Adrian Sutedi,
Hukum Gadai Syariah (Bandung: Alfabeta, 2011), 14.
[2] Masjfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyah (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), 123.
[3] Sutedi,
Hukum Gadai Syariah, 15.
[4] Ibid.,
21-22.
[5] Habib Adjie
dan Emmy Haryono Saputro, “Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Objek Gadai Atas
Pelelangan Objek Gadai,” Jurnal Hukum Bisnis 1, no. 1 (April 2015): 53.
[6] Titin
Ermawati, “Peluang dan Tantangan Gadai Emas (Rahn) di Indonesia: Sebuah
Tinjauan Konseptual,” (Universitas Negeri Surabaya), 3.
[7] M. Sulaeman
Jajuli, “Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Hukum Islam di Kabupaten Bogor,” Jurnal
Ahkam XV, no. 2 (Juli 2015): 223.
[8] Mardani, Hukum
Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 249.
[9] Abdul Ghofur
Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan
Institusionalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 117.
[10] Ibid.,
118.
[11] Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, 125.
[12] Sutedi,
Hukum Gadai Syariah, 27-28.
[13] Ibid.,
37-38.
[14] Ibid.,
39.
[15] Anshori, Gadai
Syariah Di Indonesia, 116.
[16] Ibnu Mas’ud, Fiqih
Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), 74.
[17] Anshori, Gadai
Syariah Di Indonesia, 113-114.
[18] Ibid.,
114-115.
[19] Zuhdi, Masail
Fiqhiyah, 124.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar