Blog masa kini yang berisi kontent inspiratif

MAKALAH 6 - MASAIL FIQHIYAH - PEMANFAATAN BARANG GADAI


PEMANFAATAN BARANG GADAI
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
MASAIL FIQHIYAH
Disusun oleh : Kelompok 6 PAI.H
1.      Afidhatul Imaniah                            NIM. 210315261
2.      Muhammad Zidna Yaqina               NIM. 210315286
3.      Nilas Sa’adah                                     NIM. 210315277

Dosen Pengampu
Ibnu Muchlis, M.Hum.

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
APRIL 2018

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sampai saat ini, kondisi ekonomi warga Indonesia masih sangat memprihatinkan atau tergolong rendah. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pengangguran tetapi lowongan kerjanya sedikit, dan kemiskinan pun juga semakin bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seseorang pasti akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Entah itu bekerja, berdagang, bisnis, ataupun yang lain. Salah satunya yaitu dengan menggadaikan barang ke pegadaian.
Di era sekarang banyak sekali lembaga-lembaga pegadaian di Indonesia, malah semakin bertambah karena banyak orang yang menggunakan pegadaian. Karena tujuan dari gadai yaitu untuk mengatasi permasalahan keuangan yang ada dalam masyarakat dan saling tolong menolong, serta saling mengerti antar sesama.
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akan dibahas tentang gadai, meliputi pengertian, tujuan, pemanfaatan, rukun, syarat sah dan pandangan hukum Islam terhadap gadai.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.         Apa yang dimaksud dengan rahn?
2.         Apa saja tujuan dan pemanfaatan barang gadai?
3.         Apa saja rukun dan syarat sah rahn?
4.         Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap rahn?


1
 


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Rahn
Ar-rahn (gadai) menurut bahasa berarti al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa rahn adalah terkurung atau terjerat, tetap kekal dan jaminan.[1]
Menurut istilah syara’ ar-rahn terdapat beberapa pengertian di antaranya:
1.      Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.[2]
2.      Gadai adalah suatu barang yang dijadikan peneguh atau penguat kepercayaan dalam utang piutang.
3.      Akad yang obyeknya menahan harga terdapat sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[3]
Gadai (rahn) menurut Jumhur Ulama:
1.      Ulama Syafi’iyah
Rahn adalah menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila berutang tidak sanggup membayar utang.
2.      Ulama Hanabilah
Rahn adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuh dari harganya, bila yang berharga tidak sanggup membayar utangnya.
3.      Ulama Malikiyah
Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
2
 

4.      Ulama Hanafiyah
Rahn adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian.[4]

B.     Tujuan dan Pemanfaatan Barang Gadai
1.      Tujuan Gadai
a.       Untuk mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke tangan para pelepas uang atau tukang rentenir yang bunganya relatif tinggi.[5]
b.      Untuk tujuan pencegahan, terutama ketika seseorang menemukan situasi yang tidak terduga seperti kematian dan kecelakaan dimana mereka membutuhkan uang tunai yang cepat dan untuk memenuhi kebutuhan transaksi seseorang.[6]
c.       Untuk saling tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan.
d.      Untuk menghindarkan terjadinya penghisapan manusia oleh manusia dengan istilah lain disebut lintah darat. Juga menghilangkan kebiasaan perilaku riba yang diharamkan dalam syariat Islam yang telah merajalela di masyarakat.[7]

2.      Pemanfaatan Barang Gadai
a.       Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat diambil oleh bank adalah sebagai berikut:
1)      Menjaga kemungkian nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank.
2)      Memberi keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja bila nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3)      Jika rahn diterapkan dengan mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.[8]
b.      Pemanfaatan Barang Gadai
1)      Pemanfaatan rahin atas borg (barang yang digadaikan)
a)      Ulama Hanafiah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murthahin, begitu pula murthahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin. Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
b)      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika borg sudah berada di tangan murthahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan.
c)      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin, seperti mengendarainya, menempatinya, dan lain-lain. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, seperti sawah, kebun, rahn harus meminta izin pada murthahin.
2)      Pemanfaatan murthahin atas borg
a)      Ulama Hanafiah berpendapat bahwa murthahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.[9]
b)      Ulama Malikiyah membolehkan murthahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang tersebut barang yang dapat diperjualbelikan serta ditentukan waktunya secara jelas.
c)      Pendapat ulama Hanabilah berbeda dengan jumhur. Mereka berpendapat, jika borg berupa hewan, murthahin boleh memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya meskipun tidak diizinkan oleh rahin. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.[10]
Perlu dicatat, bahwa kebanyakan ulama tidak memperbolehkan penggadai memanfaatkan barang gadai, sekalipun pemiliknya mengizinkan, sebab termasuk riba yang dilarang oleh Islam berdasarkan Hadis Nabi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا.
Artinya: “Semua pinjaman yang menarik manfaat adalah riba”. (H.R. Al-Harits dari Ali).

Tetapi menurut ulama Hanafi, penggadai boleh memanfaatkan barang gadai atas izin pemiliknya, sebab pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendaki termasuk penggadai untuk mengambil manfaat barangnya. Dan itu bukan riba, karena pemanfaatan barang gadai itu ditarik atau diperoleh melalui izin, bukan ditarik oleh pinjaman.
Mahmud Syaltut dapat menyetujui pendapat ulama Hanafi tersebut dengan catatan: izin pemilik itu bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar tulus ikhlas berdasarkan mutual understanding dan mutual help (saling mengerti dan saling menolong).[11]





C.    Rukun dan Syarat Sah Rahn
1.       Rukun Rahn
Dalam menjalankan pegadaian harus memenuhi rukun gadai. Rukun gadai tersebut diantaranya:
a.      Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang digadaikan.
b.      Al-Murthahin (yang menerima gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan barang (gadai).
c.       Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
d.      Al-Marhun Bih (Utang)
Sejumlah dana yang diberikan murthahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
e.       Shighat, Ijab, dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murthahin dalam melakukan transaksi gadai. Pada dasarnya pegadaian berjalan di atas dua akad transaksi, yaitu:
1)      Akad Rahn. Yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
2)      Akad Ijarah. Yaitu pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.[12]

2.      Syarat Sah Rahn
a.       Rahin dan Murthahin
Rahin dan murthahin harus mengikuti syarat-syarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kelayakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal).
b.      Syarat Sighat (Lafadz)
1)        Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu dengan masa yang akan datang, karena akad rahn itu sama dengan akad jual beli. Misalnya, rahin mensyaratkan apabila tenggang waktu marhun bih telah habis dan marhun bih belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang 1 bulan, mensyaratkan marhun boleh murthahin manfaatkan.
2)        Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal.
Kedua syarat dalam contoh tersebut, termasuk syarat yang tidak sesuai dengan tabiat rahn, karena syarat itu dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya untuk sahnya rahn itu, pihak murthahin minta agar akad itu disaksikan oleh 2 orang saksi, sedangkan syarat yang batal, misalnya disyaratkan bahwa marhun itu tidak boleh dijual ketika rahn itu jatuh tempo, dan rahin tidak mampu membayarnya.[13]
c.       Marhun Bih (Utang)
1)      Harus merupakan hak wajib yang diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya (murthahin).
2)      Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu.
3)      Marhun bih itu jelas atau tetap dan tertentu.
4)      Memungkinkan pemanfaatan.
5)      Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.
d.      Marhun (benda jaminan gadai)
1)        Harus bisa diperjualbelikan.
2)        Harus berupa harta yang bernilai.
3)        Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah.
4)        Harus diketahui keadaan fisiknya.
5)        Harus dimiliki oleh rahin.
6)        Marhun tidak terkait dengan hak orang lain.
7)        Marhun merupakan harta yang utuh.
8)        Marhun boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.[14]
Abu Bakr Jabir Al-Jaziri dalam buku “Minhajul Muslim” menyatakan bahwa barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak. Karena penjualan tanaman dan buah-buahan di pohonnya yang belum masak tersebut haram, namun untuk dijadikan barang gadai hal ini diperbolehkan, karena di dalamnya tidak memuat unsur gharar bagi murthahin. Dinyatakan tidak mengandung unsur gharar karena piutang murthahin tetap ada kendati tanaman dan buah-buahan yang digadaikan kepadanya mengalami kerusakan.[15]
Apabila barang gadai  hilang di tangan murthahin, ia tidaklah wajib menggantinya, kecuali kalau disia-siakan, umpamanya ia bermain-main dengan api, lalu barang gadaian terbakar atau ia tidak mengunci gudang sehingga barang itu hilang, dan lain-lain. Hal ini karena murthahin merupakan orang yang dipercaya oleh rahin (orang yang menggadai).[16]


D.    Pandangan Hukum Islam
Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam, diatur dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijtihad.
1.      Al-Qur’an
Ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 283).

2.      As-Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW. pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi dan menggadaikan kepadanya baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: “Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya”. (H.R. Asy’Syafii, al Daraquthni, dan Ibnu Majah).[17]
Nabi bersabda: “Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan”. (H.R. Jamaah, kecuali Muslim dan An-Nasai).
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: “Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (oleh yang menerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)nya”. (H.R. Jamaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari).

3.      Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian (berada di tempat domisilinya) maupun pada waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut di Madinah. Adapun keadaan dalam perjalanan seperti ditentukan dalam Q.S. Al-Baqarah: 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian. Adh-Dhahak dan penganut madzhab Az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan mereka telah terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.[18] Ayat tadi yang mengaitkan gadai dengan bepergian itu tidak dimaksudkan sebagai syarat sahnya gadai, melainkan hanya menunjukkan bahwa gadai itu pada umumnya dilakukan pada waktu sedang bepergian (pada waktu itu).[19]




BAB III
KESIMPULAN
1.      Gadai adalah perjanjian (akad) pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
2.      a. Tujuan gadai: 1) Mengatasi agar masyarakat yang sedang membutuhkan uang tidak jatuh ke rentenir. 2) Tujuan pencegahan. 3) Saling tolong-menolong. 4) Menghindarkan terjadinya penghisapan manusia oleh manusia lain dan menghilangkan kebiasaan perilaku riba.
b. Pemanfaatan barang gadai:
1)        Pemanfaatan rahin atas borg: a) Ulama Hanafiah: rahin tidak boleh memanfaatkan barang tanpa seizin murthahin, begitu pula murthahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin rahin.  b) Ulama Malikiyah: jika borg sudah berada di tangan murthahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan. c) Ulama Syafi’iyah: rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang jika tidak menyebabkan borg berkurang, tidak perlu meminta izin. Akan tetapi jika menyebabkan barang berkurang, rahn harus meminta izin pada murthahin.
2)        Pemanfaatan murthahin atas borg: a) Ulama Hanafiah: murthahin tidak boleh memanfaatkan borg sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. b) Ulama Malikiyah membolehkan murthahin memanfaatkan borg jika diizinkan oleh rahin. c) Ulama Hanabilah: jika berupa hewan, boleh memanfaatkan. Adapun borg selain hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin rahin.
3.      a. Rukun rahn: 1) Ar-Rahin (yang menggadaikan). 2) Al-Murthahin (yang menerima gadai). 3) Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan). 4) Al-Marhun Bih (Utang). 5) Shighat, Ijab, dan Qabul.
11
b. Syarat sah rahn: 1) Rahin dan Murthahin: berakal sehat, baligh, dan kemampuan untuk melakukan transaksi pemilikan. 2) Syarat Sighat (Lafadz): Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad tidak boleh dikaitkan dengan syarat tertentu dengan masa yang akan datang, karena akad rahn itu sama dengan akad jual beli dan Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah mengatakan apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu dibolehkan, namun apabila syarat itu bertentangan dengan tabiat akad rahn, maka syaratnya batal. 3) Marhun Bih (Utang): a) Harus merupakan hak wajib yang diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya (murthahin). b) Marhun bih itu boleh dilunasi dengan marhun itu. c) Marhun bih itu jelas atau tetap dan tertentu. d) Memungkinkan pemanfaatan. e) Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. 4) Marhun (benda jaminan gadai): a) Harus bisa diperjualbelikan. b) Harus berupa harta yang bernilai. c) Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah. d) Harus diketahui keadaan fisiknya. e) Harus dimiliki oleh rahin. f) Marhun tidak terkait dengan hak orang lain. g) Marhun merupakan harta yang utuh. h) Marhun boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.
4.       a.    Al-Qur’an: Q.S. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ
b.      As-Sunnah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ. (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi SAW. pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang Yahudi dan menggadaikan kepadanya baju besi”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

c.       Ijtihad: jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian (berada di tempat domisilinya) maupun pada waktu bepergian.


DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib dan Emmy Haryono Saputro. “Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Objek Gadai Atas Pelelangan Objek Gadai.” Jurnal Hukum Bisnis 1, no. 1 (April 2015).
Anshori, Abdul Ghofur. Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
Ermawati, Titin. “Peluang dan Tantangan Gadai Emas (Rahn) di Indonesia: Sebuah Tinjauan Konseptual.” (Universitas Negeri Surabaya).
Jajuli, M. Sulaeman. “Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Hukum Islam di Kabupaten Bogor.” Jurnal Ahkam  XV, no. 2 (Juli 2015).
Mardani. Hukum Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Mas’ud, Ibnu. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sutedi, Adrian. Hukum Gadai Syariah. Bandung: Alfabeta, 2011.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.





[1] Adrian Sutedi, Hukum Gadai Syariah (Bandung: Alfabeta, 2011), 14.
[2] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997), 123.
[3] Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 15.
[4] Ibid., 21-22.
[5] Habib Adjie dan Emmy Haryono Saputro, “Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Objek Gadai Atas Pelelangan Objek Gadai,” Jurnal Hukum Bisnis 1, no. 1 (April 2015): 53.
[6] Titin Ermawati, “Peluang dan Tantangan Gadai Emas (Rahn) di Indonesia: Sebuah Tinjauan Konseptual,” (Universitas Negeri Surabaya), 3.
[7] M. Sulaeman Jajuli, “Kepastian Hukum Gadai Tanah dalam Hukum Islam di Kabupaten Bogor,” Jurnal Ahkam  XV, no. 2 (Juli 2015): 223.
[8] Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 249.
[9] Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 117.
[10] Ibid., 118.
[11] Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 125.
[12] Sutedi, Hukum Gadai Syariah, 27-28.
[13] Ibid., 37-38.
[14] Ibid., 39.
[15] Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, 116.
[16] Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 74.
[17] Anshori, Gadai Syariah Di Indonesia, 113-114.
[18] Ibid., 114-115.
[19] Zuhdi, Masail Fiqhiyah, 124.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Popular Posts

Blog Archive

PAI.H

PAI.H
Kita lebih dari sekedar teman, we are family