LANDASAN
KEILMUAN PSIKOLOGI DAKWAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM (DASAR EPISTIMELOGI)
Tugas
ini dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
“Psikologi
Dakwah”
Dipresentasikan pada tanggal 5 April 2018

Disusun
oleh
M. Firza
Masruri (210315276)
Muhammad I’san
Baidhowi (210315296)
Nibar Destian (210315270)
Dosen
Pengampu
Sunartip,
S.H.I.,M.Sy.
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada hakikatnya gerakan dakwah islam terporos
pada amar makruf nahi munkar, makruf mempunyai arti mengaja kebaikan, sedangkan
munkar adalah mencegah perbuatan munkar. Pada tataran amar makruf siapapun bisa
melakukannya karena kalau hanya sekedar menyuruh kepada kebaikan itu mudah dan
tidak ada resiko bagi si penyuruh. Lain halnya dengan nahi munkar , jelas
mengandung konsekuensi logis dan beresiko bagi yang melakukannya, karena mencegah
kemunkaran harus sinergis dengan tindakan konkrit, nyata dan dilakukan atas dasar
kesadaran yang tinggi dalam rangka menegakkan kebenaran.
Berangkat dari penjelasan diatas, dalam
mengembangkan dakwah Islam selanjutnya, perlu kiranya dipertegas mengenai
epistemologi dakwah secara keilmuan . maka makalah ini membahas mengenai landasan
keilmuan Psikologi Dakwah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan landasan
epistemologi?
2.
Apakah yang dimaksud dengan metode keilmuan?
3.
Apakah yang dimaksud dengan metode praktis
dalam al-Qur’an?
4.
Apakah yang dimaksud dengan metode praktis
dalam al-Hadits?
![]() |
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Epistemologi
Epistemologi adalah teori pengetahuan (episteme
= pengetahuan; logos =teori)epistemologi
adalah cabang dari filsafat yang membahas persoalan apa dan bagaimana cara
orang memperoleh pengetahuan, merupakan bagian dari filsafat tentang refleksi
manusia atas kenyataan, yang menguraikan metode ilmiah sesuai hakikat
pengertian manusia.[1]
Secara mendalam segenap yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh ilmu
pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode
keilmuan, atau dengan kata lain ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode
keilmuan sehingga disini akan lebih jelas lagi perbedaan antara science
dengan knowledge.[2]
B.
Metode Keilmuan
Pada
dasarnya, ditinjau dari sejarah cara berpikir manusia terdapat dua pola untuk
memperoleh pengetahuan, yang pertama adalah berpikir secara rasional, dimana
berdasar faham rasionalisme ini, ide tentang kebenaran sebenarnya sudah ada.
Pikiran manusia dapat mengetahui ide tersebut namun lewat pengalaman. Dalam
kaitannya dengan masalah ini Descartes menganggap bahwa pengetahuan memang dihasilkan
alat indra itu biasanya menyesatkan (seperti mimpi dalam khayalan), maka ia
mengambil kesimpulan bahwa data keindraan tidak dapat diandalkan. Sehingga ia
sangat percaya dengan kesimpulan rasionya sendiri dan diekspresikan dalam
bahasa Latin cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada).[3]
Di lain pihak telah muncul pola baru yang
berlawanan dengan pola berpikir rasionalisme, yang dikenal dengan empirisme.
Paling tidak sejak zaman Aristoteles terdapat tradisi yang cukup kuat untuk
mendasarkan diri kepada pengetahuan manusia dan meninggalkan cita-cita untuk
mencari pengetahuan yang mutlak tersebut. Kaum empiris memegang teguh pendapat
bahwa pengetahuan manusia diperoleh melaului pengalaman. Jika berusaha untuk
meyakinakan seorang empiris, bahwa
sesuatu itu ada dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”.
Secara khusus kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya kepada
pengalaman yang ditangkap oleh pancaindra kita, John Locke yang dipanggil, yang
dipanggil bapak kaum empiris Inggris,
mengajukan sebuah teori pengetahuan yang menguraikan dengan jelas sifat-sifat
empiris diatas. Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir
dianggap sebagai selembar kertas kertas lilin yang licin (tabula rasa) dimana
data yang ditangkap pancaindra lalu tergambar disitu.[4]
Dari pola pikir diatas baik rasionalisme maupun
empiriseme masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Sehingga Stanley M.
Honer dan Thomas C. Hurt menulis…”bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam
usahanya mencari pengetahuan yang lebih tepat digambarkan sebagai suatu
kombinasi antara prosedur emepiris dan rasional. Lebih lanjut Stanley M. Honer
dan Thomas C. Hurt merumuskan prosedur ilmiah dengan langkah sebagai berikut.
1.
Sadar akan masalah dan perumusan masalah.
2.
Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan.
3.
Penyusunan dan klasifikasi data.
4.
Perumusan hipotesis
5.
Deduksi dan hipotesisi
6.
Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari
hipotesa
Sedangkan
Francis Bacon mengemukakan empat sendi kerja untuk menyusun ilmu pengetahuan
yaitu :
1.
Observation (pengamatan)
2.
Measuring (pengukuran)
3.
Explaining (penjelasan)
4.
Verifying (pemeriksaan)
Prosedur diatas merupakan suatu hal yang harus
dipenuhi dalam menyusun psikologi dakwah sebagai sebuah Ilmu pengetahuan.
Adapun metode yang diterapkan adalah metode induksi dan deduksi.[5]
1.
Metode Induksi
Kata
induksi berasal dari bahasa Latin inducere sedangkan dalam terminologi
ilmiah; induksi adalah suatu cara penganalisisan ilmiah yang bergerak dari
hal-hal yang bersifat khusus (individual) menuju kepada hal yang bersifat umum
(universal).
Jadi
cara induksi adalah dimulai dari penelitian kenyataan-kenyataan khusus satu
demi satu kemudian diadakan generalisiasi dan abstraksi lalu diakhiri dengan
kesimpulan umum. Sebagian sarjana menamakan metode ini dengan fase eksperimen.
Eksperimen
juga dikenal dalam agama, hanya saja stressing dari eksperimen dalam
agama adalah dari sudut tujuannya, yakni menguji kemampuan kejiwaan manusia
dalam keimanan dan ketakwaanya,
sebagaimna firman Allah:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِسَءٍ مِّنَ
الْخَوْفِ وَلْجُوْعِ وَنَقْصِ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ
وَبَشِّرِ الصَّبِرِيْنَ
Artinya:
Sesungguhnya aku menguji (mencoba) kamu sekalian dengan
sesuatu hal yang berupa ketakutan, kelaparan, dan kekurangan harta kekayaan dan
tenaga serta makanan dan gembirakanlah orang-orang yang bersabar (teguh
jiwanya).(Q.S.
Al- Baqarah: 155)
Proses eskperimen memang dapat dibenarkan
sebagai pengganti induksi dalam pengertian yang relatif sebab proses induksi,
proses awalnya tidak lepas dari penelitian (eksperimen).[6]
2.
Deduksi
Kata deduksi berasal dari bahasa
Latin deductio metode ini adalah bergerak dari hal yang bersifat umum
(universal) kemudian atas dasar itu diterapkan hal-hal yang bersifat khusu.[7]
Misalnya sebuah aksioma berbunyi
“jarak yang terpendek adalah sebuah garis lurus antara dua buah titik”.
Berdasarkan aksioma yang bersifat umum ini disusunlah teori-teori dan
rumus-rumus dalam ilmu ukur ruang, misalnya;
Cara deduksi ini banyak dipakai
dalam logika klasik Aristoteles yaitu dalam bentuk silogisme yang menarik
kesimpulan berdasarkan atas dua buah premis mayor dan premis minor sebelumnya .
contoh yang paling klasik adalah:
a.
Semua
manusia mati.
b.
Socrates
adalah manusia, dan
c.
Jadi,
Socrates bisa mati.
Berkaitan erat dengan kajian
psikologi dakwah dalam pengembangan keilmuannya, kedua metode ilmiah diatas
dapat diterapkan dengan sudut kajian Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai acuan
analisisnya. Mengingat psikologi dakwah sebagai ilmu normatif, artinya sumber
ajaran Islam sebagai acuan analisisnya.
Adapun field study methode (kajian
metode lapangan) dalam pengembangannya . metode psikologi secara umum, tidak
semuanya, tidak semuanya dapat diterapkan dalam kajian psikologi dakwah. Adapun
beberapa metode yang dapat diterapkan antara lain;.[8]
3.
Observasi
Dalam aplikasinya, observasi ini sangat
terbatas dan tergantung pada kemampuan panca indra observer. Realitas ini telah
isaratkan al-Qur’an dalam beberapa ayat antara lain:
“dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, pengelihatan, dan hati agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl: 78).
“dan Dialah yang telah menciptakan bagi
kamu sekalian, pendengaran, pengelihatan, dan hati. Amat sedikitlah kamu
bersyukur”. (QS. Al-Mu’minun: 78).
Dalam ayat diatas, pengamatan dan
pengelihatan (visi) mengisyaratkan arti melihat dengan penalaran yang benar.
Dalam sejumlah kasus, eksperimen praktis tertentu disebutkan sebagai alat
mendapatkan pengetahuan, seperti:
1.
Lewat seekor burung gagak,
Allah mengajari Qobil bagaimana menguburkan mayat
2.
Tuhan mengajar manusia bijak
mengenal kemungkinan memberikan kehidupan baru kepada yang mati.
3.
Tuhan menunjukkan kepada
Ibrahim bagaimana dia menghidupkan yang mati.
Dengan demikian, tak ada keraguan bahwa
al-Qur’an menganggap indra-indra eksternal sebagai alat=-alat utama dalam
mendapatkan sebagian pengetahuan kita.
Dalam bebrapa ayat diatas, al-Qur’an cukup
mengemukakan pendengaran dan pengelihatan sebagai dua alat indra saja karena
pertama, signifikansinya yang begitu penting dari kedua indra tersebut dalam
proses tanggapan panca indra. Dua, penyebutan keduanya cukup menjadi indikator
tentang pentingnya semua panca indra yang lain dalam proses tanggapan panca
indra. Hal ini sendiri merupakan salah satu keistimewaanya daya al-Qur’an, yang
begitu ringkas dalam mengemukakan dan mengisyartkan realitas-realitas esensial
yang umum dan menghindaroi detai-detailnya sebab al-Qur’an bukanlah buku ilmu
pengetahuan, tetapi sebuah kitab yang menjadi petunjuk bagi manusia. Akan tetapi
diakhir ayat 78 suat al-Mu’minun Allah telah menegaskan bahwa karunia yang
begitu besar tidak disyukuri oleh manusia, apalagi memanfaatkan panca indra
untuk mengobservasi dunia makro kosmos ini, atau dunia mikro kosmos dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.[9]
4.
Angket
Yang disebut adalah suatu
penyelidikan mengenai suatu masalah sosial dengan jalan mengedarkan daftar
pertanyaan kepada sejumlah besar individu, yang harus dijawab secara tertulis.
Adapun segi-segi kehidupan
psikologis yang mungkin dapat diselidiki dengan angket menurut M. Arifin
sebagai berikut:
a.
Emosi.
b.
Nilai
atau norma.
c.
Kepercayaan
agama.
d.
Peristiwa
atau kejadian.
e.
Alasan-alasan.[10]
5.
Interview
Merupakan metode penyelidikan dengan
menggunakan pertanyaan-pertanyaan. [11]
6.
Biografi
Merupakan penulisan riwayat hidup
yang ditulis oleh orang lain. Biografi Nabi Muhammad sebagai panutan
uswah/teladan.
A.A Brill seorang psikoanalisis
menulis “individu yang benar-benar religious tidak akan pernah sakit
jiwa “, hal senada juga dikatakan Herry Link
bahwa “pibadi pribadi yang religious dan sering mendatangi
tempat-tempat ibadah memiliki kepribadian yang lebih kuat dan baik ketimbang
pribadi-pribadi yang tidak beragama atau tidak menjalankan sekali suatu macam
ibadah.
Menurut Totok bahwa metode biografi
sangatlah tepat untuk metode pengembangan psikologi dakwah. Sehingga mampu
merealisasikan nilai universal Islam dalam realitas kehidupan manusia. Dan
tidak segan mengatakan bahwa pasien gangguan jiwapun, sebagai objek kajian
psikologi dakwah, sehingga gejala-gejala kejiwaan mereka dapat kita analisis
sebagai acuan bagaimana strategi yang tepat berdakwah kepada mereka.[12]
C.
Metode
Praktis dalam Al-Qur’an
Metode
dalam Al-Qur’an ditopang oleh dua faktor yang kuat pertama, menggunakan dan
memanfaatkan pengalaman orang lain baik dari generasi terdahulu ataupun masa
kini. Esensi dari kandungan makna dakwah adalah adanya unsur upaya yang serius
dan dinamis. [13]Faktor
yang lainnya menggunakan akal dan pengalaman kita dalam mencari kebenaran agar
kita mendapat petunjuk dan hidayah yang orang lain tidak mendapatkannya. [14]
1.
Pewarisan
pengalaman
Faktor perdana ini didasarkan atas
bangkitnya setiap generasi untuk mengajarkan pengalaman dan aneka pengetahuan kepada
generasi berikutnya. Al-Qur’an sendiri telah menggunakan contoh bagaimana
manusia belajar lewat metode meniru (imitasi) atau pewarisan pengalaman. Ini
dikemukakan dalam kisah pembunuhan yang dilakukan Qabil terhadap saudaranya
Habil, sehingga ia tahu bagaimana memperlakukan mayat saudranya maka Allah
mengutus burung gagak sebagai contohnya.
Tidaklah heran apabila pada
hakikatnya proses pengembangan kepribadian manusia melalui proses imitasi.
Dalam hal ini secara umum Al-Qur’an memberikan petunjuk antara lain sebagai
berikut:
a.
Orang
yang pandai tidak boleh menyembunyikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya (Q.S.
Al-Baqarah 159-160).
b.
Amanat
ilmu itu menduduki tempat pertama untuk ditransfer, orang yang pandai
memindahkan segala informasinya dengan jelas dan cermat. Di dalamnya tidak ada
distorsi dan penyimpangan. Juga tidak dilebihi dan tidak dikurngi (Q.S.
Al-Maidah:44).
c.
Hindari
waktu diskusi yang berkepanjangan yang tujuannya bukan mencari kebenaran baik
bagi murid ataupun guru (Q.S. Al An’am:68; Q.S. Al-Hajj:3 dan 68).
d.
Meneriama
kebenaran berdasarkan dalil.
e.
Mengambil
manfaat dan meninggalkan pembalasan sia-sia.
f.
Menyeleksi
dan membedakan informasi untuk kemaslahatan umat manusia.
g.
Dapat
membedakan dan mengamati orang-orang yang ahli dan kompeten dalam bidangnya
dalam menerima ilmu pengetahuan. Kita disuruh bertanya kepada orang yang
berilmu. (Q.S. Al-anbiya:7).[15]
2.
Pemikiran
logis
Dalam belajar manusia menggunakan
metode berpikir. Ketika seseorang sedang belajar dalam memecahkan suatu
problem, dalam kenyataannya ia sedang melakukan tried and error secara
intelektual. Sebab dalam pikirannya ia sedang mengusahakan berbagai jalan
keluar dari problem tersebut. Oleh karena itu proses belajar disebut oleh para
ahli jiwa modern dengan “proses belajar tingkat tinggi”.
Diskusi polemik dan meminta pendapat
para ahli merupakan salah satu faktor yang menopang dalam memperjelas
pemikiran. Bahkan Rasul sendiri disuruh Allah untuk bermusyawarah dengan para
ahli dan sahabat : …..dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
bersama(Q.S. Ali Imran:159).[16]
D.
Metode
Hadits
Dalam hal ini penulis memperkirakan
ada dua hal seseorang dapat mendapatkan
ilmu pengetahuan pertama, Memperoleh ilmu melalui ilham. Ilham
bisa disebut juga sebagai instuisi atau inspirasi adalah bisikan hati, berupa
pengetahuan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya,baik kepada
Rasulullah maupun selainnya. Ilham sering dianggap oleh orangawam sebagai
sebuah wangsit untuk melakukan sesuatuatau meninggalkannyaIlham bagi para nabi
dan rasul adalah wahyu sebagaimana
firman Allah :
Artinya: “Dan tidak ada
bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengandia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutusseorang utusan
(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yangDia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (Al-Shura:51).
Ilham
tidak hanya diberikan kepada Nabi dan rasul-rasul Allah, akan tetapi juga
manusia selain mereka. Dalil yang menunjukkan bahwa selain Nabi juga bisa
mendapatkan ilham, diantaranya adalah sebagai berikut:
”Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada
Allah, niscaya Dia akanmemberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala
kesalahan-kesalahan danmengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang
besar”.(al-anfal:29)
Syaikh
Muhammad Amin al-Syinqithi dalam menafsirkan ayat ini berkata,”Ini menunjukkan,
bahwa yang dimaksud dengan al-furqan dalam ayat iniadalah ilmu (pengetahuan)
yang bisa membedakan antara yang hak dan batil, sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang
yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah
kepada RasulNya, niscaya Allah memberikan rahmatNya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S. Al-Hadid:28).
Dalam
ayat ini Allah Subḥānahu wa Ta’āla menjanjikan
kepada siapa saja yang bertakwa kepadaNya akan diberikan al-furqan. Orang yang telah mendapatkan al-furqan dari Allah, pasti memiliki ilmu dan
petunjuk yang tidak dimiliki oleh orang lain. Karena al-furqan tersebut hanya dikhususkan kepada
siapa saja yang takut kepada Allah Al-furqan itu
merupakan pemberian Allahyang tidak bisa dicari dan dipelajari.[17]
Jadi
menurut menulis wahyu dan ilham merupakan suatu cara yang dilakukan untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Hal ini tentu saja berbeda dengan pandangan barat
yang cenderung mengedepankan rasionalitas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada 3 metode yang digunakan dalam pengembangan psikologi
dakwah yaitu:
1.
Metode keilmuan
2.
Metode praktis Al-Qur’an
3.
Metode Hadits
B.
Saran
Penulis menyadari bahwa penulisan masih banyak kekurangan
untuk itu pembaca kami harap dapat memberikan kritik dan sarannya.
![]() |
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro,
Totok , Psikologi Dakwah; Dengan Aspe-aspek Kejiwaan Yang Qur’ani, Jakarta:
Amzah, 2001.
Muhiddin, Asep,Dakwah
dalam Perspektif Al-Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia,2002.
Saputra,Wahidin,pengantar
Ilmu Dakwah, Jakarta: Rajawali Press,2011.
Ulfah,Maria,
“Mekanisme Perolehan Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam” ,Jurnal
Ilmiah Didaktika Februari 2012 Vol.XII No.2.
[1]Wahidin Saputra, pengantar
Ilmu Dakwah (Jakarta: Rajawali Press,2011),99.
[2]Totok Jumantoro, Psikologi
Dakwah; Dengan Aspe-aspek Kejiwaan Yang Qur’ani (Jakarta: Amzah, 2001),50.
[3]Ibid.
[11]Ibid.
[14]Jumantoro,Psikologi Dakwah;
Dengan Aspe-aspek Kejiwaan Yang Qur’ani, 61.
[17]
Maria Ulfah “Mekanisme Perolehan Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan
Islam” ,Jurnal Ilmiah Didaktika Februari 2012 Vol.XII No.2,301-302.










Tidak ada komentar:
Posting Komentar