PERKAWINAN BEDA AGAMA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“MASA UL-FIQIYAH”

Disusun oleh : Kelompok 2
1. Aris Permata
Dewi (210315284)
2. M. Ihsan
Baidowi (2103152)
3. Puji Astuti (2103152)
4. Hawing Cahya
Purnama (210315271)
Kelas PAI.H
Dosen Pengampu :
Ibnu Mukhlis,
M. Hum
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hubungan antar umat beragama telah lama
menjadi isu yang terpopuler di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai
konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama
dan etnis. Karena itu persoalan hubungan anatar umat beragama ini menjadi
perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen
lain dari bangsa ini, sebut saja lembaga keagamaan, baik islam maupun non Islam
dan sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah
masyarakat apalagi dikalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi
pernikahan beda agama, entah si pria yang Muslim menikah dengan wanita non
muslim ( Nasrani, Yahudi, atau agama lainya ) atau barangkali si wanita yang
muslim menikah dengan pria non muslim. Namun
kadang kita mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan
perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan
pemahaman liberal yang semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang
pemahamanya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan
perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun, bagaimanakah sebenarnya menurut
pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat
dari permasalahan itu kami akan menjelaskan mengenai perkawinan beda
agama.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian perkawinan muslim dan non muslim?
2.
Apa dampak negatif dan positif pernikahan
campuran?
3.
Bagaimana pandangan Islam tentang
perkawinan campuran.
|
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Perkawinan Muslim Dan Non Muslim
Perkawinan
beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentu keluarga (rumah tangga ) yang
bahagia dan kekal, sedang keduanya berbeda agama dan keyakinan. Perkawinan beda
agama, secara umum dapat mengambil dua bentuk. Pertama, laki-laki muslim
menikahi perempuan non muslim, kedua, perempan muslimah sedangkan
laki-lakinya non muslim. Non muslim adalah mereka yang selain beragama islam.
Salah satu kategori non muslim dalam al-Qur’an adalah musyrik.
wur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sã 4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷sB ×öyz `ÏiB 7px.Îô³B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 wur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.Îô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sã 4 Óö7yès9ur í`ÏB÷sB ×öyz `ÏiB 78Îô³B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããôt n<Î) Í$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããôt n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãur ¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.xtGt ÇËËÊÈ
QS.
Al-Baqarah: 221
“janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum
mereka beriman. sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik dari
perempuan musyrik walaupun ia menarik hatimu. dan jangan kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan perempuan-perempuan mukmin) sebelum mereka berima.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu.mereka mengajak keneraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izinnya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatnya
(perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” [1]
Mengenai
masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut:
1. Perkawinan antar seorang pria muslim dengan musyrik
Islam melarang
perkawinan antara pria muslim dengan wanita musrik, berdasarkan firman Allah
dalam surat Al- Baqarah ayat 221. Hanya dikalangan ulama timbul beberapa
pendapat tentang siapa musyrikah yang haram dikawini itu? menurut Ibnu Jarir
al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang yang dikawini
itu ialah musyrikah dari bangsa arab pada waktu turunya Al-Qur’an memang tidak
mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Tetapi kebanyakan ulama
berpendapat, bahwa semua musrykah baik bangsa arab maupun non arab selain ahlu
kitab, yakni yahudi dan kristen tidak boleh dinikahi.[2]
2. Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita
Ahlu Kitab.
Kebanyakan
ulama berpendapat, bahwa seorang pria muslim boleh kawin dengan wanita Ahlu
Kitab (yahudi atau kristen) berdasarkan firman Allah surat Al-Midah ayat 5:
àM»oY|ÁósçRùQ$#ur z`ÏB tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s%
“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang di beri kitab suci sebelum kamu”.
Juga berdasarkan sunnah Nabi pernah menikah dengan Ahlu
Kitab, yakni Mariah al-Qibtiyah (Kristen). Demikian pula dengan seorang sahabat
Nabi yang termasuk senior bernama Hudzaifah bin AL-Yaman pernah kawin dengan
wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.
3. Perkawinan antar seorang wanita muslimah dengan pria
non Muslim
Ulama telah
sepekat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang Muslimah dengan pria
non-Muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab
suci, seperti kristen dan yahudi, ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab
suci seperti: budha, dan hindu.[3]
B. Dampak Negatif Dan Positif Pernikahan Campuran
Adapun hikmah
dilarangnya perkawinan antar orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan
muslim (pria/wanita), selain ahlu kitab), ialah bahwa antara orang Islam denag
orang kafir selain kristen dan yahudi itu terdapat way of life dan filasafat
hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah
sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci dan
malaikat, dan percaya pula kepada hari kiamat. Sedangkan orang musrik tidak
percaya pada semuanya itu. kepercayaan mereka penuh dengan khufarat. Bahkan
mereka selalu mengajak oarang-orang yang telah beragama/beriman untuk
meninggalkan agamanya dan kemudian diajak untuk mengikuti agamanya.
Mengenai
hikmah diperbolehkannya perkawinan anatara seorang pria muslim dengan pria
kristen atau yahudi, ialah karena pada hakikatnya agama kristen dan yahudi itu
satu rumpun dengan agama Isam sebab sama-sama agama wahyu .maka kalau seorang
wanita kristen atau yahudi kawin denga pria muslim yang baik, yang taat pada
ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri
masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan
kesempurnaan agama Islam setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga Islam.
Sebab agama Islam mempunyai panutan atau pedoman hidup yang lengkap,
mudah,praktis, demokratis,menghargai kedudukan Islam dan keluarga .[4]
Adapun
hikmah dilarangnya perkawinan anata seorang wanita Islam dengan pria kristen
atau yahudi karena dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama
dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian tersesat pada agama suaminya.
Kemudian anak-anak yang lahir dari hasil perkawinanya dikhawatirkan mereka akan
mengikuti agama bapaknya, karena bapak sebagai kepala keluarga terhadap
anak-anak melebihi ibunya. Karena orang yahudi dan kristen tidak akan senang
kepadamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.[5]
C. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Campuran
Di dalam Agama Islam terdapat beberapa
masalah-masalah yang telah sah keberadaan hukumnya. Dalil-dalil yang berkenaan
dengan hukumnya pun qath’I atau pasti. Sehingga para ulama atau mujtahid telah
sepakat mengenai status hukumnya dan tidak perlu lagi perdebatan
perbedaan penafsiran di dalamnya, seperti hukum zina, mabuk, judi, menikahi
saudara sendiri. Masalah-masalah seperti ini sudah jelas agama Islam
mengharamkan perbuatan tersebut.
Selain masalah-masalah yang tidak ada perdebatan
mengenai status hukumnya, di dalam Islam juga terdapat masalah-masalah yang
belum mendapat kesepakatan. Para ulama masih berbeda pendapat karena di dalam
Al-Quran dan Hadist tidak ada keterangan yang cukup jelas tentang status
hukumnya. Masalah-masalah yang diperselisihkan dalam hukum Islam disebut
masalah Khilafiyah.
Pernikahan beda agama merupakan masalah Khilafiyah
dalam Agama Islam. Para ulama masih mempersoalkan kebolehan nikah beda agama.
Apakah nikah beda agama dihalalkan menurut syariat Islam atau diharamkan ? Hal
ini timbul karena dalil-dalil agama Islam yang menjelaskan pernikahan beda
agama masih memerlukan pemahaman yang lebih mendalam.
1. Pandangan yang tidak membolehkan
Beberapa ulama sepakat pernikahan beda
agama terlarang. Keterangan dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 menjadi landasan
utama para mujtahid perihal terlarangnya pernikahan beda agama.[6]
“ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari pada
wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahi
orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak mu’min lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun dia
menarik hati. Allah menerangkan ayat-ayat kepadamu supaya kamu mengambil
pelajaran “
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 ini merupakan
dalil-dalil yang jelas melarang orang islam, baik laki-laki maupun perempuan
untuk menikah beda Non Islam, sebelum mereka masuk Islam. Selain dalam surat
Al-Baqarah ayat 221, kejalasannya juga terdapat dalam surat Al-Mumtahanah ayat
10 yang berbunyi
“… Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu meminta mahar yang telah kau
berikan dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
ketetapan-Nya diantara kamu, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”
Dalam perintah surat ini, Allah memerintahkan untuk
memutuskan hubungan perkawinan yang telah terjadi dengan orang non Islam.
Adapun bagi mereka yang belum melangsungkan perkawinan dilarang melangsungkan
perkawinan dengan oramg-orang musyrik. Disebutkan bahwa perkawinan yang telah
terlanjur berlangsung dibatasi hanya sampai tahun ke 6 hijriah.
2. Pandangan yang membolehkan
Sudah dijelaskan sebelumnya, persoalan nikah beda agama menjadi sebuah
masalah khilafiyah (kontroversi) di kalangan umat Islam. Alasan para
ulama yang membolehkan nikah beda agama, karena nikah beda agama secara
doktrinal tidak dilarang oleh Allah SWT. Keterangan dalam surat Al-Maidah ayat
5 merupakan landasan yang menjelaskan kehalalan nikah beda agama.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu
halal bagimu, dan makanan kamu halal baginya. Dan dihalalkan bagimu mengawini
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya diantara kamu dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatannya diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu.
Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud mengawininya dan tidak
bermaksud menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
tidak menerima hukum Islam, maka hapuslah amalannya, dan di akhirat dia
termasuk orang yang merugi”
Bahkan sebagai fakta sosial perkawinan beda agama
sudah ada sejak zaman nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw pun pernah menikah
dengan perempuan non Islam, begitu pula banyak para sahabat nabi dan tabi’in
yang melakukan hal serupa. Nabi Muhammad saw pernah menikah dengan wanita
keturunan Yahudi dari suku Quraidlah dan Musthalik, dan seorang wanita dari
Gubernur di Mesir bernama Maria Al- Qibtiyah.
Jadi, Ahli kitab yang boleh dikawini adalah suatu
generasi ahli kitab yang telah memeluk agamanya sebelum Nabi Muhammad diutus.
Hukum ini tidak berlaku selain untuk mereka itu. jadi, bab ini termasuk dalam takhsis
Al’Amm (mengkhususkan yang umum). Dalam ayat diatas orang ahlu kitab
memiliki hukum khusus dan hukum umum. Hukum khusus ini ada persamaanya dengan
undang-undang yang diciptakan manusia ataupun dalam undang-undang hukum Islam.[7]
3. Nikah Beda Agama Menurut UU Perkawinan No.1 th 1974
Dalam negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang
berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga
perkawinan bukan saja mengandung unsur luhur tetapi juga terdapat unsur batin.
Dalam pasal 1 UU Perkawinan ditetapkan rumusan
pengertian perkawinan. [8]Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami dan
istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya dalam pasal 2 (ayat 1) ditetapkan bahwa
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Dari ketentuan pasal di atas dapat disimpulkan baha tidak
ada perkawinan yang dilakukan di luar hukum agama dan kepercayaannya, sebab
untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan berdasarkan pada hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Lantas bagaimana apabila kedua calon
suami isteri menganut agama yang berbeda dan tetap mempertahankan agamanya
masing-masing ?
Dengan tidak adanya ketentuan tentang perkawinan
beda agama di dalam UU Perkawinan, maka sangat sulit untuk melakukan perkawinan
beda agama di Indonesia karena tidak diatur dan lembaga-lembaga yang mengurusi
administrasi perkawinan pun dibedakan, untuk perkawinan agama Islam lembaga
yang bertugas melakukan pencatatan adalah Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk
yang ada di KUA, sedang untuk perkawinan non Islam dicatat oleh Lembaga Catatan
Sipil (LCS). Orang Islam yang ingin menikah tudak dapat dicatat oleh LCS begitu
pun sebaliknya orang non Islam yang ingin menikah juga tidak dapat dicatat oleh
Lembaga PNRT. Dan sesuai dengan Keputusan Presiden No. 12 tahun 1983 tentang
penataan dan peningkatan pembinaan penyelenggaraan catatan sipil, telah
meniadakan tugas penyelenggaraan perkawinan yang merupakan kewenangan Kantor
Catatan Sipil.9 Jadi semakin menipiskan peluang untuk
melakukan perkawinan beda agama, karena secara hukum tidak ada lembaga yang
dapat mencatat perkawinan mereka.
Tetapi kita juga tidak dapat menghindari masalah
tersebut karena negara kita sangat sangat majemuk dan terdiri dari berbagai
macam suku, ras, agama ,dan budaya. Pada perkawinan beda agama semua dapat
teratasi apabila ada salah satu dari calon suami isteri yang mengalah untuk
mengikuti agama suami atau isteri. Dengan cara begitu perkawinan akan
melibatkan 1 agama saja, sehingga memudahkan untuk melangsungkan perkawinan.
Atau dengan cara salah satu pihak menundukkan diri pada hukum agama suami atau
isteri, tetapi cara ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena dianggap
hanya tunduk pada saat acara perkawinan saja, setelah itu mereka kembali ke
agama masing-masing. Ini sama saja dengan melecehkan agama, karena hanya
bersifat sementara.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pengertian Perkawinan Muslim Dan Non Muslim
Perkawinan beda agama adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan
tujuan membentu keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal, sedang
keduanya berbeda agama dan keyakinan.
2.
Dampak Negatif
Dan Positif Pernikahan Campuran
Bahwa antara orang Islam denag orang kafir selain
kristen dan yahudi itu terdapat way of life dan filasafat hidup yang
sangat berbeda.
Pada hakikatnya agama kristen dan yahudi itu satu rumpun
dengan agama Isam sebab sama-sama agama wahyu .maka kalau seorang wanita
kristen atau yahudi kawin denga pria muslim yang baik, yang taat pada
ajaran-ajaran agamanya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri
masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan
kesempurnaan agama Islam setelah ia hidup di tengah-tengah keluarga Islam.
Dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan
beragama dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya, kemudian tersesat pada agama
suaminya.
3.
Pandangan
Islam Tentang Perkawinan Campuran
a.
Pandangan yang tidak membolehkan
Beberapa ulama sepakat pernikahan beda
agama terlarang. Keterangan dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 menjadi landasan
utama para mujtahid perihal terlarangnya pernikahan beda agama.
b.
Pandangan yang membolehkan
Sudah
dijelaskan sebelumnya, persoalan nikah beda agama menjadi sebuah masalah khilafiyah
(kontroversi) di kalangan umat Islam.
c.
Nikah Beda Agama Menurut UU
Perkawinan No.1 th 1974
Dalam negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang
berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
perkawinan dianggap mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga
perkawinan bukan saja mengandung unsur luhur tetapi juga terdapat unsur batin.
DAFTAR PUSTAKA
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung : PT
Sinar Baru Algensindo, 1996.
Zuhdi, Masjfuk,
masail fiqhiyah. Jakarta: PT TOKO GUNUNG AGUNG, 1997.
Dahlan, Abdul Aziz, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1409.
Anshori, Abdul Ghofur, Perkwainan Islam perspektif Fikih dan
hukum positif, yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2011.
.
[6] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 4, Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1409
[7] Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry,
Pernikahan campuran menutut pandangan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang,
1988), 44.
[8] Abdul Ghofur Anshori, Perkwainan
Islam perspektif Fikih dan hukum positif, (yogyakarta: UII Press
Yogyakarta, 2011), 217.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar